Jumat, 10 Oktober 2025

Penembakan Solo

Kejanggalan Penangkapan Teroris Solo Kelemahan Polri

Kombinasi kelemahan koordinasi internal kepolisian antara divisi intelijen dan reskrim, sudah sangat kompleks.

Penulis: Abdul Qodir
zoom-inlihat foto Kejanggalan Penangkapan Teroris Solo Kelemahan Polri
Tribun Jogja/Obed Doni Ardianto
Warga kampung melihat kondisi Wiji Siswosuwito, bapak mertua tersangka teroris Solo, Bayu Setyono, setelah pulang dari RS Dr Oen Solo di Kampung Tempel, RT 04 RW 04, Kelurahan Bulurejo, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu (1/9/2012).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan, kombinasi kelemahan koordinasi internal kepolisian antara divisi intelijen dan reskrim, sudah sangat kompleks.

Kasus penembakan petugas kepolisian di Solo dan konflik warga Syiah dan Sunni di Sampang, menjadi contohnya.

Semua peristiwa itu tidak akan terjadi, jika kapolresta setempat responsif terhadap masukan informasi dari pihak intelijen.

"Ini problem struktural umum, termasuk kasus Temanggung atau Syiah Sampang. Di saat yang sama, ada desain delegitimasi Polri, misalnya di RUU Kamnas dengan memanfaatkan dan menjadikan kelemahan internal Polri," ujar Eva, melalui pesan elektronik, Senin (3/9/2012).

Menurut Eva, kejanggalan-kejanggalan dalam penyergapan dua tersangka teroris di Solo adalah bagian dari kelemahan internal.

"Termasuk kejanggalan penembakan polisi sebelum penyergapan, jika sudah dalam pengintaian (surveillance) Densus," tutur Eva.

Ini disampaikan Eva menyusul Indonesia Police Watch (IPW), yang mengungkap adanya tiga kejanggalan dalam penyergapan Densus 88, terhadap orang-orang yang disebut sebagai teroris di Jalan Veteran I, Tipes, Solo, pada 31 Agustus 2012.

Kejanggalan pertama yang ditemukan IPW, pistol yang disita dari tertuduh teroris yang terbunuh adalah Bareta dengan tulisan Property Philipines National Police dan buatan Italia.

Padahal, sebelumnya Kapolresta Solo Kombes Asjima'in menyebutkan, senjata yang digunakan penembak polisi di Pospam Lebaran adalah jenis FN kaliber 99 mm.

Kedua, Bripda Suherman anggota Densus 88 yang tewas akibat tertembak di bagian perut, justru menunjukkan adanya SOP dalam tugas kepolisian.

Kejanggalan ketiga, beberapa jam setelah penyergapan, Presiden SBY memerintahkan Kapolri segera tinjau lokasi kejadian.

Padahal, dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan, saat tiga kali penyerangan terhadap Pospam Lebaran, SBY tidak bersikap seperti itu. IPW pun memberikan tanda tanya atas motif SBY di balik langkahnya itu. (*)

BACA JUGA

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved