Rabu, 27 Agustus 2025

Banyak Orang Parpol, MK Perlu Diawasi KY

Pengawasan tersebut dipandang penting

Penulis: Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto (bawah) menghadiri sidang judicial review tentang penghapusan Badan Anggaran DPR yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Moechtar (kiri), di Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2013). Aktivis dari YBLHI, IBC, ICW, dan FITRA mengajukan judicial review penghapusan Banggar DPR karena dinilai sangat rawan korupsi. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 

Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak dibentuk satu dasawarsa yang lalu, belum ada pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) baik dari internal maupun eksternal.

Pengawasan tersebut dipandang penting mengingat komposisi hakim konstitusi yang terdiri dari unsur DPR, MA, dan Pemerintah.

"Mereka potensial untuk menyalahgunakan wewenang dan kepentingannya. Jadi menurut saya, mereka tidak lepas dari pengawasan etik, karena mungkin pasti akan ada yang terganggu dari situasi itu bisa menyangkut perilaku hakim MK. Tapi kan tidak ada lembaga yang bisa mengadu," ujar Asep Warlan Yusuf, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, di KY, Jakarta, Rabu (28/8/2013).

Tanpa bermaksud berprasangka buruk terhadap kemandirian hakim konstitusi, kata Eman, MK mulai disusupi partai politik. Kewenangan MK yang bisa membubarkan partai politik, menguji undang-undang, dan memutuskan hasil Pemilu merupakan kewenangan yang sangat luar biasa.

Sebelum memutuskan perkara atau pengujian undang-undang, Asep menilai MK akan mendatangkan ahli atau pakar dengan halus untuk menyelimuti kepentingan mereka.

"Perlu diawasi bahwa ketua MK juga orang parpol. Apalagi mereka keputusannya final dan mengikat dan tidak ada lagi upaya hukum lainnya. Ini bisa sewenang-wenang dan penyalahgunaan," ujarnya.

Pengawasan hakim tersebut, kata Asep, terutama dalam soal etika. MK tidak bisa memutus sendiri pelanggaran etik yang dilakukan hakimnya sendiri.

Dengan kata lain, MK membutuhkan lembaga lain di luar MA untuk memberikan laporan dan rekomendasi atas pelanggaran etik tersebut kepada majelis kehormatan.

"MK tidak bisa menyelidiki, mengumpulkan bukti, memeriksa dan menjatuhkan keputusan sendiri. Butuh lembaga di luar yang sekuat KY," tegas Asep.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan