Kontroversi Aborsi Korban Perkosa
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menilai wajar pemerintah memperbolehkan aborsi dalam kondisi darurat medis dan kasus pemerkosaan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menilai wajar pemerintah memperbolehkan aborsi dalam kondisi darurat medis dan kasus pemerkosaan. Kondisi seperti itu sudah diterapkan di beberapa negara lain. Sementara Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, aborsi hanya boleh dilakukan secara aman dan berkualitas kepada perempuan dalam kasus tertentu, misalnya korban perkosa.
"Kalau di pendekatan kita pendekatan medis, saya kira wajar dan itu universal seperti itu. Kalau misalnya pemerkosaan, beberapa negara kan sudah menerapkannya," kata Amir di Jakarta, Kamis (14/8) lalu.
Amir menilai, seorang korban pemerkosaan perlu dilindungi pemerintah. Dia menilai janin yang dikandung seorang korban pemerkosaan bukan atas keinginannya. "Kan tidak berdasarkan keinginan dia. Anda bisa bayangkan seseorang yang jadi korban pemerkosaan seperti apa traumanya," ucap Amir, politi Partai Demokrat.
Selaku Menkum dan HAM, Amir mengaku belum pernah membahas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang salah satu isinya memperbolehkan aborsi dengan alasan darurat medis dan kasus perkosaan. Kemungkinan, kata Amir, PP itu dibahas Kemenkum dan HAM sebelum dia menjabat.
"Kemungkinan di era sebelum saya menjabat menteri barangkali. Ini lima tahun, kan saya di sini baru tiga tahun," kata Amir.
Terpisah, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan aborsi tetap merupakan praktik terlarang berdasarkan undang-undang. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pun membatasi, aborsi hanya dapat dilakukan dalam kondisi darurat medis dan kasus pemerkosaan.
"Jadi (masalah aborsi ini) telah dibahas selama 5 tahun. Baik undang-undang maupun peraturan pemerintah mengatakan, aborsi dilarang, kecuali untuk dua keadaan, (yakni) gawat darurat medik dan kehamilan akibat pemerkosaan," ujar Nafsiah di Istana Negara. Dia menegaskan, PP ini adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Nafsiah mengatakan, kondisi perlunya aborsi untuk kasus darurat medis mensyaratkan pembuktian dari tim ahli. Adapun dalam kasus pemerkosaan, kata dia, usia janin pun tak boleh lebih dari 40 hari, terhitung sejak hari pertama dari haid terakhir.
"(Soal usia janin) sesuai fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia, yakni 40 hari, Red). Memang kalau di Katolik, dari pembuahan, sudah dianggap manusia. Maka dari itu, akan ada konseling. Keputusan pun di tangan ibu," papar Nafsiah. PP ini diteken Presiden SBY pada 21 Juli 2014 silam.
Kementerian Kesehatan akan menyiapkan peraturan menteri kesehatan untuk menyediakan tim ahli yang dipersyaratkan untuk persetujuan aborsi dalam kasus darurat medis. Targetnya, peraturan tersebut akan rampung sebelum masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir.
Menurut Nafsiah, Kementerian Kesehatan juga akan menggelar pelatihan bagi tenaga kesehatan untuk bisa memberikan konseling secara tepat.
Nafsiah mengaku belum tahu ada penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atas penerbitan PP Nomor 61 Tahun 2014. "Saya tidak tahu. Ini kan sudah dibahas lima tahun lintas sektor melibatkan civil society. Mungkin yang ditanya (komentarnya soal PP ini) nggak baca (soal kajian dan PP ini)," kata dia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP ini di antaranya mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat pemerkosaan, merujuk Pasal 75 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009.
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014. Peraturan ini melegalkan tindakan aborsi atau mengugurkan kandungan. Kebijakan ini telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Berikut komentar para pihak terkait terbitnya peraturan tersebut.
Pasal 31 PP 61 Tahun 2014 yang melegalkan aborsi, berbunyi, ayat 1 Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan.
Ayat 2 Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Menurut pasal tersebut, setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, ataupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Penentuan indikasi kedaruratan medis dilakukan tim kelayakan aborsi, yang paling sedikit terdiri dari dua tenaga kesehatan, yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. "Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab," demikian bunyi Pasal 35 ayat (1) PP Kesehatan Reproduksi.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menolak PP reposduksi ksehetan yang melegal aborsi. Menurut IDI, PP ini bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kode Etik Kedokteran Pasal 11 Ayat (5) tentang Perlindungan Kehidupan.
"Kalau ingin melakukan aborsi, jangan ajak-ajak kami (dokter). Kami tidak mau dipenjara karena sampai sekarang KUHP masih berlaku. Undang-undang yang kuno dari Babilonia sekalipun sampai pada sumpah Hipokrates yang dibuat Pitagoras sangat mengharamkan aborsi," tegas Zaenal Abidin di kantor pusat PB IDI di Jakarta.