Selasa, 14 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

Disesalkan Sikap Golkar Tak Tetapkan Pengganti Setya Novanto Sebagai Ketua DPR RI

Sekalipun ini agak terlambat, tapi menurut Emrus, tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.

Editor: Johnson Simanjuntak
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto berada di mobil tahan KPK seusai menjalani pemeriksaan di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2017). Kedatangan Setya Novanto ke KPK untuk menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus korupsi proyek e-KTP. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memang pengangkatan Plt Ketua Umum sangat baik. Namun jauh lebih baik bila Golkar mengedepankan kepentingan negara daripada partai dengan lebih dahulu mengangkat Plt mengganti posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR-RI.

Hal itu menurut Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing kepada Tribunnews.com, Rabu (22/11/2017).

Adalah keputusan strategis sebagai langkah awal menangani berbagai persoalan terkait kepentingan politik Golkar dengan mengangkat Idrus Marham sebagai Pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar.

Keputusan itu diambil setelah Setya Novanto menjadi tersangka dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sekalipun ini agak terlambat, tapi menurut Emrus, tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Seharusnya, pengangkatan Plt ini dilakukan sejak Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi kasus E-KTP," ujar Emrus.

Baca: Perempuan yang Tabrak Belasan Kendaraan di Bundaran Senayan Penderita Bipolar

Sebab, ia mengutip pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dalam acara ILC, dini hari tadi di TV One, bahwa Ketetapan MPR, Nomor VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang masih berlaku, memuat bahwa pejabat negara yang mendapat sorotan publik karena tingkah laku dan kebijakannya, mundur dari jabatannya tanpa menunggu keputusan pengadilan.

Seharusnya dia tegaskan, jauh lebih baik bila Golkar mengedepankan kepentingan negara daripada partai dengan lebih dahulu mengangkat Plt mengganti posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR-RI.

"Bukankah negeri ini sudah sepakat bahwa kepentingan negara di atas kepentingan partai (golongan)? Bukankah kepentingan partai di atas kepentingan pribadi.

Jangan sampai terjadi bahwa kepentingan pribadi di atas kepentingan partai apalagi kepentingan negara," kata Emrus.

Bila hal ini yang terjadi dalam praktek politik di Indonesia, maka negeri ini akan tetap menghadapi permasalahan pelik dalam kerja-kerja politik, baik dalam skop internal partai, daerah, mapun nasional.
Konsekuensi lebih lanjut akan terjadi drama maupun seri drama politik di negeri ini.

Untuk menghapus atau paling tidak meminimalisasi konsekuensi tersebut, menurutnya, paling tidak ketika Golkar mengangkat Plt Ketua Umum Partai sekaligus menetapkan PLT Ketua DPR-RI dari Golkar.

"Sebab, Ketua DPR RI, sesuai dengan amanat UU, bahwa pengganti Ketua (pimpinan) DPR RI tetap dari kader partai yang sama," jelasnya.

Bagi Golkar, siapa sosok kader yang mumpuni memimpin DPR RI, menurut doa, tidak menjadi masalah. Mengapa?

Golkar memiliki "segudang" sumber daya manusia yang handal memimpin lembaga legislatif kita, baik dari tokoh usia muda, usia matang dan dari usia tua yang masih produktif dan kritis.

Oleh karena itu, pengangkatan Plt Ketua DPR RI sejatinya dilakukan sesegera mungkin.

Bila ada sementara pandangan yang mengatakan bahwa, tiadanya Setya Novanto memimpin DPR RI tidak mengganggu kinerja karena kolektif kolegial, diategaskan itu sangat sulit diterima akal sehat.

"Bila itu alasannya, berarti dari awal tidak perlu ada Ketua DPR RI sehingga tidak ada sejumlah biaya yang terkait dengan tunjangan, pengawal, ajudan dan fasilitas oleh karena jabatan sebagai Ketua DPR RI pada setiap tahun anggaran. Ini bisa menjadi penghematan APBN," ujarnya.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura Dadang Rusdiana mengatakan, dirinya menghormati langkah Partai Golkar atas nasib Ketua DPR Setya Novanto.

"Kita menghormati apapun langkah yg akan ditempuh oleh Golkar. Tentunya resiko apapun sudah diperhitungkan oleh Golkar, kami tidak bisa ikut campur karena memang koridor hukum memungkinkan untuk melakukan praperadilan," kata Dadang saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (22/11/2017).

Namun dirinya khawatir soal citra DPR yang dihubungkan dengan kasus dugaan korupsi KTP elektronik yang menjerat Novanto.

"Kalau berkenaan dengan citra DPR tentu ini kan ujian paling berat bagi DPR, sepanjang sejarah DPR. Citra DPR sudah tidak karuan di mata rakyat, ini pekerjaan rumah yang berat bagi kepemimpinan DPR ke depan termasuk tentunya bagi semua anggota DPR," katanya.

Anggota Komisi X DPR RI ini meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR untuk mengukur kelayakan pimpinan DPR dari sisi etika.

"Kami akan menghormati apa nanti yang diputuskan oleh MKD," katanya.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved