Rabu, 24 September 2025

Kasus Terorisme

Anggaran BNPT 'Hanya' Rp 500 Miliar Tapi Mampu Lakukan Deradikalisasi dan Jadi Contoh Dunia

Meski Anggaran BNPT sangat terbatas, hanya Rp 500 miliar per tahunnamun ternyata mampu melakukan deradikalisasi.

Editor: Dewi Agustina
Koresponden Tribunnews.com/Richard Susilo
Komisaris Jenderal Polisi Drs Suhardi Alius, M.H. (56) yang masih memiliki darah Minang, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sejak 20 Juli 2016, jenderal polisi bintang tiga. 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski Anggaran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sangat terbatas, hanya Rp 500 miliar per tahun--termasuk gaji dan lainnya--namun ternyata mampu melakukan deradikalisasi dan bahkan menjadi contoh dunia.

"Anggaran BNPT dalam 2 tahun terakhir ini mencapai sekitar Rp 500 miliar termasuk gaji. Demikian pula untuk berbagai upaya pencegahan, kerj asama berbagai bidang, kerja sama organisasi dan sebagainya. Upaya deradikalisasi itu ternyata mampu menjadi contoh dunia dan gaung ke mana-mana menjadi acuan internasional," kata Jenderal Polisi bintang tiga Suhardi Alius kepada Tribunnews.com baru-baru ini di kantornya.

Jenderal Suhardi juga berbicara di Washington, di depan komisi European Union, serta di Badan perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

"Deradikalisasi diapresiasi mereka yang semula tak yakin teroris bisa berubah. Mereka percaya teroris seumur hidup akan sama tak akan berubah, oleh karena itu dilakukan Hard approach oleh mereka. Tetapi kita bisa mengubah teroris," kata Suhardi.

Dari 325 mantan narapidana teroris, 128 orang ternyata telah ikut bersama BNPT dan menjadi nara sumber menghadapi komunitas yang rentan.

"Mereka itu bekerja lebih efektif daripada kita karena mereka mantan kombatan, mereka bisa bicara langsung ke teman dan jaringannya. Jadi akan lebih efektif menggunakan yang 128 orang tersebut," kata Suhardi.

Saat ini banyak anak muda dimanfaatkan dan paling mudah dicuci otaknya dan mereka rata-rata berusia antara 15 hingga 25 tahun, masih mencari jati diri dan emosional, labil, gampang dipanas-panasi.

"Oleh karena itu sekarang kita juga merekrut Duta Damai di 11 kota di Indonesia, masing-masing direkrut 60 orang dalam lomba yang bertema bagaimana menetralisasi paham radikal dan ternyata mendapat response sangat baik di Indonesia," ujar dia.

Mereka itu, menurutnya, yang memiliki banyak follower seperti banyak bloger dan sebagainya.

Baca: Ketua BNPT Berharap Bantuan Teknologi dan Pelatihan Staf di Jepang Tingkatkan Kualitas Antiteror

"Kita coba sebarkan paham anti radikal dan damai dengan bahasa milenial bahasa anak muda. Kalau pakai bahasa kita ya tidak nyambung dong ke anak-anak muda itu," ujarnya.

Bulan Mei ini juga diaktifkan hal serupa kepada dua kota lainnya lagi, mencari dan sebarkan info positif.

"Memiliki daya tahan menangkal hal-hal negatif memang tidak mudah," kata Suhardi.

Beberapa waktu lalu Jenderal Suhardi ke Jepang dan ternyata tak lama kemudian kunjungan balik bidang terorisme dilakukan Jepang ke Indonesia untuk kerja sama yang lebih baik lagi.

Anak sekarang, kata Suhardi, kalau tak punya nilai kebangsaan, di tengah dunia digitalisme ini, maka akan kehilangan jati diri.

"Namun kalau berbekal pada value dari kecil apa pun, dengan kemajuan teknologi informasi pasti ada kemampuan untuk seleksi serta verifikasi bagi anak muda yang memang memiliki value. Namun kalau tak punya value maka tak akan bisa melakukan filtering. Oleh karena itu pendidikan karakter penting sekali sejak usia dini," katanya.

Jenderal Suhardi memberikan contoh.

"Coba kita lihat anak muda sekarang, hafal tidak siapa-siapa pahlawan daerah, hafal tidak lagu-lagu daerah, siapa menteri-menteri yang ada. Pada zaman saya dulu semua itu di luar kepala," tambah jenderal berdarah Minang yang kini berusia 56 tahun.

Jika anak muda sekarang tak punya nilai kebangsaan yang baik, maka akan gampang terprovokasi.

"Mana yang benar tak diketahuinya, banyak hoax berseliweran. Kalangan Radikal melempar pesan, langsung diforward tanpa difilter sehingga jadi massif, tak bagus bagi bangsa dan negara," kata dia.

Namun Jenderal Suhardi melihat Jepang lain.

"Pendidikan tinggi, pengetahuan bagus, salary tinggi, tetapi tetap tak kehilangan identitas dia. Sopan santun terjadi di terminal bus dengan pegawainya yang nunduk-nunduk. Ini kan satu karakter padahal mereka orang modern dengan ekonomi terhebat di dunia, namun tetap terlestarikan tingkah lakunya meskipun berada di era kemajuan teknologi tinggi, tetapi tetap tak kehilangan identitasnya, misalnya hormat pada orangtuanya. Mungkin yang baik itu perlu kita contoh bersama," kata Suhardi.

Sistem yang dilakukan BNPT menurutnya seperti disampaikan saat berada di Yordania sebagai narasumber mengenai penanganan soft approach, supaya mantan-mantan teroris ini kembali ke masyarakat dengan baik.

"Kita coba kembangkan bagaimana napi teroris beserta keluarganya kembali ke masyarakat. Namun apabila mereka masih di luar, belum ada vonis pengadilan, maka kita belum dapat mengaksesnya," ujarnya.

BNPT berupaya untuk memanusiakan mereka.

"Setiap orang punya sisi keras, ada pula sisi humanisnya. Jangan dimarjinalkan napi teroris, karena kalau dilakukan demikian maka mereka akan kembali ke jaringannya semula," ujarnya.

BNPT memiliki 32 forum koordinasi pencegahan terorisme (FKPT) yang terdiri dari para intelektual, para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, sampai tokoh perempuan sehingga lengkap untuk melakukan verifikasi.

Kini dengan adanya UU Anti Teroris yang baru, BNPT berharap dapat sinergikan koordinasi kementerian dan badan para lembaga negara dengan lebih baik karena memang perintah UU itu sendiri.

Baca: KPU Adang Eks Koruptor Maju Caleg Meski Ditentang Bawaslu, Kemendagri dan DPR

Untuk pesantren BNPT berhara kementerian agama dapat lebih aktif lagi memonitor para pesantren karena jaringan kementerian agama sampai ke kecamatan.

Sedangkan untuk pendidikan umum dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Monitoring mungkin perlu pula dengan melihat kembai kurikulum sekolah, bagaimana pola rekrutmen guru, bagaimana bahan ajaran yang ada, bagaimana proses seleksi kuat bahan bacaan wajib, bagaimana pengaruh lingkungan sekolahnya. Semua perlu dilakukan karena ada indikasi infiltrasi terorisme baik ke pesantren maupun ke sekolah pendidikan umum," kata Suhardi.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan