Pembantaian Pekerja di Papua
Irjen Paulus Waterpauw: Kekerasan di Papua Terkait Trauma Orde Baru Hingga Freeport
Mantan Kapolda Papua/Papua Barat, Irjen Pol Paulus Waterpauw mengungkapkan musabab terulangnya kekerasan di wilayah Papua.
Penulis:
Amriyono Prakoso
Editor:
Hendra Gunawan
Padahal, permasalahan yang terjadi, tidak dirasakan langsung oleh keluarga yang ada pada saat ini. Permasalahan bisa saja terjadi, pada saat orangtua ataupun kakek-nenek sebelumnya.
Dendam turun-temurun seperti apa maksudnya? Kok bisanya menjadi dasar kekerasan atau pekelahian massal?
Mereka yang menjadi pelopor ini, tidak langsung merasakan permasalahan. Bisa jadi orangtuanya maupun kakek-nenek mereka punya masalah yang belum tuntas.
Misal, laki-laki satu suku menikahi perempuan suku lain. Padahal sebelumnya ada perselisihan, yang oleh pihak keluarga perempuan dianggap belum selesai.
Walaupun sudah terjadi perkawinan silang, belum tentu masalah sudah beres. Ini bisa diceritakan, semacam ada titipan kepada anak atau cucu bahwa masih ada masalah yang belum selesai, lalu ini bisa pemicu terjadinya keributan di kemudian hari.
Lalu bagaimana cara mengatasi peperangan antarsuku, baik dari kacama anda sebagai asli kelahiran Papua maupun pendekatan hukum positif?
Saya biasanya mencari tokoh sentralnya. Biasanya kami cari waimum, istilahnya. Waimum seperti panglima perang.
Penanggung jawab. Ia bukan pemimpin suku biasanya, tapi mereka adalah keluarga inti dari korban. Meraka yang ada dalam penderitaan dalam duka itu sendiri. Kita cari siapa dia dalam strata keluarga.
Ciri-ciri orang yang menjadi pelopor, apabila pemicunya masalah pribadi, dapat dilihat secara kasat mata.
Pertama, pihak keluarga yang memiliki permasalahan itu, biasanya berada di tengah kerumunan. Ia dilindungi kelompoknya agar tidak tersentuh pihak lawan maupun aparat.
Kedua, dia itu biasanya memegang pisau yang terbuat dari tulang burung Kasuari berhias ekor. Pihak keluarga melindungi. Keluarga rela mati demi dia.
Siapa pun, termasuk pihak aparat, tidak akan dapat menghentikan kekerasan ini.
Apalagi, jika kesedihan keluarga masih dirasakan. Selama mereka ini bersedih dan air mata masih mengalir, kekerasan ini tidak akan pernah berhenti.
Dalam beberapa kesempatan, sentimen terhadap rezim Orde Baru (Orba), trauma akan kekerasan TNI di Papua sering dijadikan alasan melakukan perlawanan, bahkan untuk berjuang merdeka oleh OPM. Apakah masih benar ada trauma Orba?
Soal trauma mungkin iya, mungkin tidak. Saya selalu berpikir dengan sisi mereka.