Rabu, 3 September 2025

Eddy Sindoro Ceritakan Kisah Pelariannya dari Penyidik KPK

Eddy Sindoro menegaskan upaya pelarian ke luar negeri setelah penetapan status tersangka oleh penyidik KPK dilakukan untuk menjalani pengobatan.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus suap pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Eddy Sindoro menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/1/2019). Sidang mantan petinggi Lippo Group tersebut beragendakan mendengarkan keterangan saksi dari Jaksa Penuntut Umum KPK yang salah satunya yakni Istri Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Tin Zuraida. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Eddy Sindoro menegaskan upaya pelarian ke luar negeri setelah penetapan status tersangka oleh penyidik KPK dilakukan untuk menjalani pengobatan.

Alasan melarikan diri itu diungkapkan saat membacakan nota pembelaan "Melewati Ujian Penerimaan Menyongsong Hari Depan" di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (4/3/2019) malam.

"Saya berangkat 23 April 2016 guna mencari solusi kesehatan," kata Eddy saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (4/3/2019) malam.

Semula, dia berniat, pergi ke Amerika Serikat. Namun, belakangan, dia mengurunkan, niat. Akhirnya, dia memilih berangkat ke Singapura.

Rencana kepergian ke Negeri Paman Sam itu terpaksa dibatalkan, setelah mengetahui informasi KPK melakukan operasi tangkap tangan kepada panitera/sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution dan Doddy Ariyanto Supeno, selaku pihak swasta, di Hotel Accacia, Jakarta Pusat, pada 20 April 2016.

"Sebagai gantinya saya singgah ke Singapura sebagai tahap pertama kesehatan saya. Saya tidak bisa dapat solusi kesehatan di Indonesia. Secara lebih konkrit saya usaha untuk menemukan solusi saya bagi permasalahan kesehatan kronis saya," ungkapnya.

Baca: Bacakan Pembelaan, Eddy Sindoro Mengaku Terkejut Dituntut 5 Tahun Penjara

Melalui nota pembelaan itu, dia mengungkapkan mengenai kondisi kesehatan yang dinyatakan sudah memasuki tahap kronis.

"Penyumbatan pembuluh darah di arteri di sana dada artinya ini risiko jantung dan stroke. Kedua, frozen shoulder hnp ataua saraf kejepit. Vertigo belum ditemukan solusi tuntas, asma, paska heumonia dan lasca TBC Paru. Lalu, penurunan hormon, perlengketan usus pasca operasi," kata dia.

Hingga akhirnya, Eddy menyerahkan diri kepada KPK. Proses penyerahan diri melalui pihak otoritas Singapura. Pada Jumat (12/10/2018) pagi, tim penyidik KPK menjemput Eddy untuk dibawa pulang ke tanah air.

"Oktober 2018, saya ke KBRI Singapura. Akhirnya, saya langsung dijemput KPK dan langsung ke gedung KPK. Tidak pernah saya melarikan diri saat proses penyidikan," kata dia.

Selama menjalani proses hukum, dia menambahkan, tidak
pernah berobat ke klinik ataupun rumah sakit. Upaya ini dilakukan, karena dia bersikap kooperatif dan agar proses hukum berjalan lancar.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menuntut terdakwa Eddy Sindoro dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Petinggi PT Paramount Interprise Internasional itu diyakini menyuap Edy Nasution selaku panitera pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sebesar Rp 150 juta dan USD 50 ribu.

Pemberian uang itu dilakukan agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana atau PT MTP dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited atau PT AAL meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan undang-undang.

Aanmaning sendiri dalam dunia hukum merupakan peringatan berupa pemanggilan kepada pihak tereksekusi untuk melaksanakan hasil persidangan perkara serta hasil keputusannya secara sukarela.

Halaman
12
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan