OTT KPK di NTB
Geledah Kantor Imigrasi Kelas I Mataram, KPK Sita Dokumen Perkara Suap Izin Tinggal WNA
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah dua lokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah dua lokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Penggeledahan terkait pendalaman penyidikan terhadap kasus suap terkait perkara izin tinggal Warga Negara Asing (WNA) di Kantor Imigrasi Mataram.
Baca: Polisi Tangkap Mantan Tentara AS Penghina Presiden Jokowi
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan penggeledahan dimulai sejak Rabu (29/5/2019) pagi.
Lokasinya antara lain Kantor Imigrasi Kelas I Mataram dan Kantor PT Wisata Bahagia.
"Dokumen terkait penyidik kasus 2 WNA dan dokumen terkait pengangkatan tersangka sebagai Kepala Kantor dan PPNS (Penyidik PNS)," ungkap Febri kepada wartawan, Rabu (29/5/2019) sore.
"Penggeledahan masih berlangsung di NTB, nanti akan diupdate lagi Informasi berikutnya," sambungnya.
KPK baru saja menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara ini, yakni Kurniadie selaku Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram; Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan kantor Imigrasi Klas I Mataram, Yusriansyah Fazrin; serta Direktur PT Wisata Bahagia, Liliana Hidayat.
Baca: BNI Syariah Fasilitasi Transaksi Wakaf Tunai
Kurniadie dan Yusriansyah diduga menerima suap sebesar Rp 1,2 miliar untuk mengurus perkara dugaan penyalahgunaan izin tinggal dua WNA atau turis berkewarganegaraan Singapura dan Australia.
Uang tersebut diberikan dari Liliana selaku manajemen Wyndham Sundancer Lombok untuk mengurus perkara dua WNA yang disalahgunakan.
Sebagai pihak yang diduga sebagai penerima suap, Kurniadie dan Yusriansyah disangkakanmelanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak yang diduga sebagai pemberi suap, Liliana disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Diduga terima suap Rp 1 miliar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan giat operasi tangkap tangan (OTT) di Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (28/5/2019) dini hari.
Terkait praktik rasuah dalam kasus ini, pejabat imigrasi diduga menerima suap terkait pengurusan izin tinggal warga negara asing berstatus turis di NTB.
"Diduga nilai suap terkait perkara izin tinggal turis di NTB tersebut lebih dari Rp 1 miliar," ungkap Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (28/5/2019).

Sebagai barang bukti, KPK menyita uang ratusan juta yang diduga merupakan barang bukti suap untuk mengurus perkara di imigrasi NTB.
Baca: KPK Operasi Tangkap Tangan Pejabat Imigrasi NTB, Ditangkap Dinihari Terkait Suap Izin Tinggal WNA
Baca: Mabes Polri Sebut Pimpinan Lembaga Survei Jadi Target Pertama
Selain itu, tim KPK juga mengamankan 8 orang di NTB, di antaranya unsur pejabat dan penyidik imigrasi serta pihak swasta.
"7 orang dari NTB akan dibawa mulai siang ini ke kantor KPK," kata Febri.
Sesuai hukum acara, KPK diberikan waktu 24 jam untuk menentukan status hukum pihak yang diamankan. Informasi lebih lengkap akan disampaikan saat konferensi pers di KPK.
Modus
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap modus baru yang dilakukan dalam kasus suap pengurusan izin tinggal dua orang warga negara asing (WNA) di kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, diduga dua penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA berinisial BGW dan MK. Keduanya diduga menyalahgunakan izin tinggal.
“Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa, tapi ternyata diduga bekerja dl Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 Huruf a Undang Undang Nomor 6 tahun 2011 Tentang Keimigrasian,” kata Alex saat menggelar konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019).
Kemudian, Liliana selaku perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara bernegosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram.
Baca: Diincar Pembunuh Bayaran, Kini Moeldoko Harus Dikawal 2 Anggota Kopassus
Baca: Pagar Monas Dipenuhi Karangan Bunga Ucapan Terima Kasih untuk TNI, Polri dan BIN
Baca: BW Sebut Pemilu 2019 Terburuk, Ketua Bawaslu: Ini yang Paling Transparan
Hal itu dilakukannya agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut. Pada Rabu (22/5) lalu, Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah dimulainya penyidikan untuk dua WNA tersebut.
Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan kantor Imigrasi Klas I Mataram, Yusriansyah Fazrin kemudian menghubungi Liliana untuk mengambil SPDP tersebut. Permintaan pengambilan SPDP ini, lanjut Alex, diduga sebagai 'kode' menaikkan harga untuk kasus ini terhenti.
Liliana kemudian menawarkan uang sebesar Rp 300 juta untuk menghentikan kasus tersebut. Namun, Yusriansah diketahui menolaknya karena menilai jumlah itu masih sedikit.
Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut Yusriansah berkoordinasi dengan atasannya Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram, Kurniadie. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara Yusriansyah dan Liliana untuk kembali membahas negosiasi harga.
“Dalam OTT ini, KPK mengungkap modus baru yang digunakan ketiganya dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara. Kemudian Yusriansah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan,” jelas Alex.
Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara 2 WNA tersebut adalah Rp 1,2 miliar. Metode penyerahan uang yang digunakan juga tidak biasa, yaitu Liliana memasukan uang sebesar Rp 1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukan kresek hitam pada sebuah tas.
Sesampai di depan ruangan Yusriansah, tas kresek hitam berisi uang Rp 1,2 miliar kersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan Yusriansah. Yusriansah kemudian memerintahkan BWI mengambil uang tersebut dan membagi Rp 800 juta untuk Kurniadie.
“Penyerahan uang pada KUR (Kurniadie) adalah dengan cara meletakkan di ember merah,” terang Alex.
Kurniadie kemudian meminta pihak Iain untuk menyetorkan Rp 340 juta ke rekeningnya di sebuah bank. Sisanya Rp 500 juta akan diperuntukkan pada pihak lain.
“Teridentifikasi salah satu komunikasi dalam perkara ini, setelah penerimaan uang oleh pejabat Imigrasi terjadi. yaitu ‘makasi, buat pulkam'," ungkap Alex lagi.