Selasa, 26 Agustus 2025

Revisi UU KPK

Jokowi Diminta Segera Bersikap Tolak Inisiatif DPR Revisi UU KPK

Karena dia menilai usulan revisi tidak berbeda jauh dari draf revisi UU KPK pada tahun 2017 lalu.

Editor: Johnson Simanjuntak
Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com
revisi KPK 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta segera menolak inisiatif DPR RI untuk melakukan Revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Rasanya presiden dapat dengan segera mengambil posisi untuk menolak rencana revisi ini," ujar Pengamat politik Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Selasa (10/9/2019).

Karena dia menilai usulan revisi tidak berbeda jauh dari draf revisi UU KPK pada tahun 2017 lalu.

"Jadi jika presiden keberatan pada draf revisi tahun 2017, maka alasan yang sama sejatinya masih bisa dipergunakan untuk menyatakan keberatan atas revisi UU KPK yang sekarang," tegas Ray Rangkuti.

Selain itu dia menjelaskan pula, ribuan akademisi telah menyatakan menolak usulan revisi ini. Mereka adalah akademisi yang datang dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Seruan ribuan akademisi itu menurut dia, jelas mempunyai dasar argumentasi yang kuat. Dengan sendirinya tidak bisa diabaikan.

Selain para akademisi ini, ratusan aktivis Antikorupsi dan tokoh-tokoh nasional juga sudah menyatakan penolakan yang sama.

"Jadi pikiran-pikiran mereka ya menolak revisi dapat dijadikan dasar bagi pemerintah untuk tidak mengirimkan surpres," jelasnya.

Baca: Polri: 4 Korban Tol Cipularang Teridentifikasi Berjenis Kelamin Perempuan

Akademisi, aktivis dan tokoh nasional melihat bukan lagi merevisi tapi sudah pada tahap merombak UU KPK.

"Dan memang subtansi revisi UU KPK ini sampai pada perombakan keseluruhan bangunan dan desain KPK sebagai lembaga yang diharapkan untuk memberantas korupsi," ucapnya.

Dia menyebut diantaranya, pertama mengenai keberadaan Dewan Pengawas KPK.

Kedua, kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penuntutan.

"Dua pasal ini jelas tidak dimaksudkan untuk menguatkan KPK, sebaliknya mempersempit ruang dan membatasi metode kerja KPK," jelasnya.

Tentu saja, yang namanya menyempitkan atau membatasi bukanlah menguatkan tapi mengecilkan atau melemahkan.

Lebih lanjut ia mengaku kurang paham desain Dewan Pengawas KPK ala DPR. Di satu segi, mereka mengakui KPK sebagai eksekutif yang sekaligus bisa diangket.

Tentu saja, jika suatu lembaga eksekutif yang bisa diangket, maka pengawasnya hanya setingkat parlemen.

"Aneh kalau masih dibuat lembaga pengawas di luar pengawasan DPR," ucapnya.

Selain itu, lembaga pengawasnya punya kewenangan memberi atau menolak satu aktivitas pengurus harian.

Lantas, jika dewan pengawas keliru dalam memberi atau menolak penyadapan misalnya, kepada siapa mereka diadukan?

Suatu organisasi yang didesain dengan kepemimpinan kolektif, maka pada dasarnya ia tidak lagi membutuhkan pengawasan di luar dirinya.

Berbeda dengan suatu organisasi dengan kepemimpinan tunggal dan bersifat struktural. Sementara kepemimpinan KPK itu bersifat kolektif kolegial.

"Maka sesama komisionernyalah yang saling mengawasi," jelasnya.

Begitu juga terkait memberi kewenangan tambahan SP3 bagi KPK justru merupakan awal kemunduran KPK. Itu juga berpotensi menjadikan KPK lembaga anti kemanusiaan.

"Satu hal yang justru bertolak belakang dari keinginan DPR guna memberi hak SP3. Mengapa anti kemanusiaan? Sebab, tidak tertutup kemungkinan KPK akan mengobral status terdakwa, lalu karena satu dan lain hal kemudian menerbitkan SP3," paparnya.

Dalam bahasa lain, kata dia, penanganan kasus di KPK punya potensi diperjual-belikan.

"Saat yang sama, mereka akan sulit dijerat hukum atau pelanggaran etik sebab bisa terhindar dari perkara karena telah mengeluarkan SP3," ucapnya.
Tidak memberi SP3 kepada KPK imbuh dia, justru untuk melindungi pejabat negara agar tidak mudah ditersangkakan oleh KPK.

Sebab, begitu KPK menyatakan seseorang sebagai tersangka, tidak ada jalan surut bagi KPK.
Dengan begitu, KPK harus dalam posisi super hati-hati dalam memberikan status tersangka terhadap seseorang.

Dengan semua pertimbangan tersebut, Ray Rangkuti menilai, presiden Jokowi sudah dapat bersikap untuk menolak mengeluarkan surat presiden dalam membahas revisi UU KPK.

Sebelumnya diberitakan, Jokowi telah membaca draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi pun meminta Yasonna untuk mempelajari naskah revisi UU KPK yang diusulkan DPR.

"Saya diberikan draf revisi UU KPK untuk saya pelajari, itu saja dulu. Kami akan pelajari dulu. Kami lihat nanti seperti apa," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/9/2019).

Menurut dia, ada beberapa poin dalam revisi UU KPK yang menjadi perhatian Jokowi. Kendati begitu, Yasonna enggan menyebutkan apa hal yang menjadi fokus Jokowi tersebut.

"Kami harus mempelajari dulu. Pokoknya ada concern ini harus dipelajari, hati-hati," kata Yasonna.

Yasonna memastikan Jokowi belum mengirimkan surat presiden (supres) ke DPR. Pemerintah, katanya, akan terlebih dahulu membaca draft revisi UU KPK tersebut, sebelum memberikan tanggapan ke DPR.

"Sampai sekarang belum. Kami harus baca dulu kan, ada beberapa (catatan)," ujar Yasonna.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan