UUD 1945 Hasil Amandemen Digugat, Menkumham Akan Koordinasi dengan Jaksa Agung
Yasonna menjelaskan, persoalan UUD 1945 sebenarnya kewenangan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly akan berkoordinasi dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin, dalam menyikapi gugatan UUD 1945 hasil amandemen.
Yasonna menjelaskan, persoalan UUD 1945 sebenarnya kewenangan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun jika Kemenkumham turut tergugat maka pemerintah siap melayaninya.
"Ya kami layani, siap menghadapi dan nanti kami akan koordinasi dengan Jaksa Agung," ujar Yasonna di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Sebelumnya diberitakan, berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca: NasDem Mesra dengan PKS, PDIP Singgung soal Main Dua Kaki hingga Pengamat Sebut Sindir Gerindra
Gugatan soal Perbuatan Melawan Hukum itu diajukan agar UUD 1945 sebelum amandemen kembali diberlakukan.
Gugatan itu teregister dengan nomor perkara: 592/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst tanggal 27 September 2019.
Adapun penggugat adalah Warga Negara Indonesia (WNI), Zulkifli S Ekomei, dengan tergugat yakni mulai dari legislatif hingga Presiden.
"(penggugat,-red) menggugat MPR, DPR, presiden, pimpinan partai, panglima TNI hingga Kapolri dalam perkara pembatalan amandemen UUD 1945 versi MPR yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002," kata Lalu Piringadi, kuasa hukum dari penggugat, saat dihubungi, Senin (30/9/2019).
Dia menjelaskan, gugatan Perbuatan Melawan Hukum ini adalah gugatan untuk menuntut diberlakukannya UUD 1945 sebelum amandemen.
Menurut dia, adanya amandemen terhadap UUD 1945 itu telah mengubah sistem ketatanegaraan dan sistem hidup bernegara serta bangsa Indonesia menjadi tidak jelas dan tanpa arah yang pasti
Selain itu, kata dia, Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh tergugat juga telah merugikan kepentingan umum, bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
"Akibat Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh tergugat telah menyebabkan kerugian immaterial bagi penggugat yang diperhitungkan setidaknya Rp 1 Miliar karena ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan hidup dan masa depan penggugat, anak keturunan baik dari sisi sosial, ekonomi, politik, maupun hukum sebagai Warga Negara Indonesia dalam situasi hidup bernegara tanpa arah yang jelas karan dihapuskannya GBHN sebagai patokan arah berbangsa, dan sistem bernegara yang menyimpang dari tujuan semula yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang asli yaitu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera," kata dia.
Menurutnya, apabila MPR RI menyetujui gugatan tersebut untuk kembali menggunakan UUD 45 sebelum amandem, yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Jika MPR menjadi lembaga tertinggi negara, maka proses pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan MPR.
Juga penyusunan dan penetapan GBHN dan pengisian utusan golongan di MPR.