Selasa, 19 Agustus 2025

Jaksa Agung: Orang Sakit Jiwa Tidak Dapat Dihukum Mati

Jaksa Agung ST Burhanaddin menjelaskan rencana kejaksaan terhadap proses pemidanaan hukuman mati.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
Vincentius Jyestha/Tribunnews.com
Jaksa Agung, ST Burhanuddin, saat ditemui di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (25/10/2019). 

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanaddin menjelaskan rencana kejaksaan terhadap proses pemidanaan hukuman mati.

Rencana tersebut menurut Burhanaddin diantaranya permohonan grasi bisa menunda proses pemidanaan hukum mati.

Namun, tidak untuk hukuman-hukuman lainya.

"Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana. Kecuali dalam hal putusan pidana mati, dengan demikian ketentuan tersebut menjadi sia-sia," kata ST Buhanuddin dalam rapat bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (7/11/2019).

Baca: Politikus Demokrat Minta Kejaksaan Tidak Jadi Alat Politik, Politikus NasDem Meradang

Untuk diketahui sebelum eksekusi mati dilakukan, banyak terpidana yang buru-buru mengajukan grasi kepada presiden.

Mereka berdalih bahwa eksekusi belum bisa dilakukan karena terpidana masih mengupayakan grasi.

Lalu berdasarkan pada pasal 2 ayat dua UU nomor 2 PNPS 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum dan militer.

Apabila perkara tindak pidana yang menyebabkan orang dihukum mati, dilakukan secara bersama sama, maka eksekusi pidana mati belum bisa dilakukan sebelum semua terpidana mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Baca: Canda Komjen Idham Azis kepada Istrinya: Saya juga Hebat, Bisa Cari Mamah Hebat

Pertimbangan Kejaksaan menurut Burhanuddin, bahwa ada kemungkinan putusan hukuman mati berubah setelah adanya upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali.

"Ternyata putusan akhir mengubah vonis pidana mati, mengingat mereka terlibat dalam perkara yang sama,hanya penuntutannya yang dipisah," katanya.

Selain itu menurut ST Burhanuddin orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak dapat dieksekusi mati.

Menurutnya kondisi kejiwaan terhadap terpidana mati harus didukung keterangan medis.

"Karenanya untuk mencegah adanya kesengajaan menunda eksekusi terpidana mati dengan alasan sakit kejiwaan, maka sakit kejiwaan yang diderita terpidana mati dapat ditunda eksekusinya harus dan didukung oleh keterangan medis yang menunjukkan bahwa terpidana mati sakit kejiwaanya," katanya.

Namun, pelaksanaan proses eksekusi mati tersebut terkendala oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkah pengajuan PK lebih dari satu kali.
Sementara surat edaran Mahkamah Agung nomor 7 menyebutkan bahwa PK hanya diperbolehkan satu kali.

"Karena apa? Para terpidana mati yang sudah PK satu kali harus dipertimbangkan lagi kalau dia mau PK," katanya.

Politikus Nasdem meradang

Ada peristiwa menarik dalam rapat kerja Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (7/11/2019).

Anggota Komisi III dari fraksi NasDem, Taufik Basari meradang saat anggota komisi III dari fraksi Demokrat Benny K Harman meminta kepada Jaksa Agung agar tidak membuat institusi Kejaksaan sebagai alat politik.

Taufik Basari menganggap permintaan Benny K Harman tersebut tendensius.

Kejadian tersebut berawal ketika Benny K Harman menanyakan soal status hubungan Jaksa Agung dengan politisi PDIP TB Hasanuddin.

Baca: Kongres NasDem Salah Satu Agendanya Pemilihan Ketua Umum

Benny K harman mengaku bangga karena Jaksa Agung merupakan adik dari sahabatnya tersebut.

"Tadi dikatakan Bapak Jaksa Agung itu dikatakan adik sahabat saya Bapak TB Hasanuddin. Saya tanyakan juga ke teman-teman yang lain apakah betul atau tidak, semua menjawab betul sekali dan jawabannya dengan penuh kebanggaan," kata Benny.

Namun menurut Benny, rasa bangga terhadap jaksa Agung baru tersebut juga diselimuti kekhawatiran.

Ia takut Jaksa Agung tidak netral dan profesional dalam menjalankan tugas.

Baca: Disetujui Menjadi Kapolri Terpilih Gantikan Tito Karnavian, Berikut Rekam Jejak Komjen Idham Azis

Karena menurut Benny ada Jaksa Agung yang berasal dari Parpol menjadikan Kejaksaan sebagai alat politik.

"Dulu Jaksa Agung kita jelas jelas Partai Politik dan jadikan kejaksaan ini alat politik, saya mohon bapak Jaksa Agung, catat ini, tolong jaga netralitas, jaga profesionalitas, dan jagalah keadilan," kata Benny.

Mendengar hal tersebut Taufik Basari lalu menyampikan interupsi.

Namun, interupsi tersebut ditolak Ketua Komisi III dari PDIP Herman Herry.

Karena menurut Herman, Benny K Harman belum selesai bertanya.

Baca: Bamsoet: Komjen (Pol) Idham Azis Sosok Tepat Jabat Kapolri

"Sebentar-sebentar. Biarkan dia selesai dulu," kata Herman.

Benny lalu menjelaskan bahwa dirinya tidak menyebutkan nama Jaksa Agung atau Parpol Jaksa Agung tersebut. 

Kecuali apabila ada yang merasa dengan pernyataannya tersebut.

"Saya tidak menyebut siapa-siapa loh, kecuali ada yang menganggap jelas, ya dia sendiri yang menganggap itu, saya tahu saya tidak mengungkapkan itu, tetapi ada yang merasa jelas ya silakan," katanya.

Lalu Benny juga menyindir sejumlah Kajati yang hadir dalam rapat dengan Komisi III, terutama Kajati dari NTT.

Benny mengatakan ia bisa melihat dalam kegelapan apa yang dilakukan Kajati-Kajati tersebut.

"Apa yang dilakukan oleh Kajati selama ini, semua termasuk NTT. Apa maksudnya, apa yang bapak ibu lakukan itu, dilihat oleh sejuta mata, saya pun dalam sejuta mata itu melihat, khusus untuk NTT, aku juga melihat bapak. Jangan, bapak mengira saya tidak melihat, saya lihat juga. Dalam kegelapan bapak melakukannya, aku juga melihatnya," katanya.

Usai Benny menyampaikan pandangannya, Pimpinan Komisi III lalu mempersilahkan Taufik Basari berbicara.

Baca: Ketua Komisi III Sarankan RKUHP Tidak Dibahas Ulang

Taufik meminta agar dalam menyampaikan pandangan soal Kejaksaan jangan tendensius.

"Saya hanya ingin memberikan catatan saja agar jangan tendensius, ketika kita menyampaikan sesuatu hal yang menuduh diantara kita di sini terkait dengan partai politik misalnya," katanya.

Menurut Taufik, Kejaksaan pada era HM Prasetyo yang merupakan politkus NasDem sangat terbuka.

Ia justru heran apabila kinerja Prasetyo baru dipermasalahkan sekarang.

"Itu kan kemarin kita selama sepanjang periode Jaksa Agung kemarin kan terbuka seluas-luasnya, jika ingin mempertanyakan jika ada masalah jika ada sesuatu hal. Ya itu kan bisa ditanyakan saat dulu, kalau kemarin tidak ada persoalan, kenapa kemudian dipertanyakan sekarang. Itu saja pimpinan," katanya.

Benny K Harman kemudian menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak menyinggung Jaksa Agung atau Parpol tertentu. 
Karena menurut Benny banyak Jaksa Agung yang berasal dari Papol, mulai dari PPP, PBB, dan Golkar.

Perdebatan tersebut kemudian ditengahi Ketua Komisi III, Herman Herry.

Menurutnya apabila perdebatan tidak kunjung selesai maka rapat di skors.

"Cukup-cukup. Jika masih ada yang belum selesai, saya skors rapat ini selesaikan di ruang pimpinan, lanjut," kata Herman.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan