Mantan Sekretaris Ditetapkan Tersangka, Ini Tanggapan Mahkamah Agung
KPK menetapkan Nurhadi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA serta penerimaan gratifikasi.
Penulis:
Glery Lazuardi
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menyerahkan proses penegakan hukum terhadap mantan Sekretaris MA, Nurhadi, kepada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK menetapkan Nurhadi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA serta penerimaan gratifikasi.
"MA menghormati proses hukum yang sedang berlangsung," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, pada sesi jumpa pers di kantor MA, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2019).
Dia menjelaskan Nurhadi pernah menjabat sebagai Sekretaris MA pada tahun 2012-2016. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, kata dia, Nurhadi kembali kepada masyarakat.
"Sampai sekarang bukan lagi bekerja di MA dan menjadi masyarakat biasa," kata dia.
Baca: 2019 Adalah Tahun Terberat Pimpinan KPK Jilid IV
Dia mengaku tidak dapat mengungkapkan sejauh mana sepak terjang dari Nurhadi.
"Peristiwa sebelum saya masuk di MA. Saya masuk MA pada 2017. Jauh sebelum saya masuk, tidak dapat mengungkapkan apa yang terjadi," kata dia.
Dia meminta masyarakat sabar soal penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK.
"Sekarang masih penyidik, mohon sabar beri kesempatan aparat bertugas. Kalau menjawab nanti justifikasi, tidak etis. Ini masih proses. Sedang dalam proses, sabar beri kesempatan pihak petugas berwenang menindaklanjuti kumpulkan fakta dan bukti supaya tak justifikasi," tambahnya.
Baca: Kata Ketua KPK Kasus e-KTP Paling Sita Perhatian Publik
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan eks sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai tersangka. Nurhadi diduga terlibat kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA serta penerimaan gratifikasi.
Nurhadi dijerat bersama Rezky Herbiyanto yang merupakan menantunya serta Direktur PT. Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara perdata PT. MIT vs PT. KBN (Persero)
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, pada 2010 PT. MIT menggugat perdata PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Nurhadi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris MA memiliki menantu bernama Rezky Herbiyanto.
Baca: Dua Tamparan Bagi Era Pimpinan KPK Jilid IV
Pada awal 2015, Rezky menerima sembilan lembar cek atas nama PT. MIT dari Hiendra untuk mengurus dua perkara, yakni Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi Nomor: 2570 K/Pdt/2012 antara PT. MIT dan PT KBN dan proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
"Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut Tersangka RHE menjaminkan delapan lembar cek dari PT. MIT dan tiga lembar cek milik RHE untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp14 miliar," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (16/12/2019).
Perkara perdata sengketa saham di PT. MIT
Saut mengatakan pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT. MIT. Perkara perdata ini dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
Baca: KPK Cegah Eks Sekretaris MA Nurhadi Bepergian ke Luar Negeri
Kemudian pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari Hiendra kepada Nurhadi melalui Rezky sejumlah total Rp33,1 miliar.
Transaksi tersebut, kata Saut, dilakukan dalam 45 kali transaksi. Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky.
"Pemberian ini diduga untuk memenangkan HS dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT. MIT," kata Saut.
Baca: Eks Sekretaris MA Nurhadi Ditetapkan Tersangka Suap dan Gratifikasi Rp 46 Miliar
Gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan
Saut menambahkan, Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat Kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Penerimaan-penerimaan tersebut, ditegaskan Saut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.
"Sehingga, secara keseluruhan diduga NHD melalui RHE telah menerima janji dalam bentuk sembilan lembar cek dari PT. MTI serta suap atau gratifikasi dengan total Rp46 miliar," kata Saut.
Atas dugaan itu, Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari perkara operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung 2016 lalu.
Baca: KPK Bakal Umumkan Tersangka Baru di 2 Kasus: Pengurusan Perkara MA dan Pengadaan di Kemenag
Kasus ini terungkap pada 2016 silam. Ketika itu, KPK melakukan OTT yang menjerat Edy Nasution selaku Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pegawai PT Artha Pratama Doddy Aryanto Supeno.
Dalam kasus itu, KPK juga menjerat Eddy Sindoro yang merupakan mantan Presiden Komisaris Lippo Group. Namun ketika itu, Eddy melarikan diri ke luar negeri. Ia menyerahkan diri pada Oktober 2018.