Sabtu, 23 Agustus 2025

Dedi Mulyadi Sebut PSBB Kurang Efektif dan Usulkan Konsep Karantina Komunal, Ini Konsepnya

Perbedaan kultur antara kota dan desa membuat Dedi menganggap PSBB kurang efektif dilakukan di Indonesia. Ia mengenalkan konsep karantina komunal.

Grafis Tribunwow/Kurnia Aji Setyawan
Dedi Mulyadi 

TRIBUNNEWS.COM - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi mengkritisi penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah diterapkan di beberapa daerah.

Menurutnya PSBB yang sudah dilakukan kurang efektif karena perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.

Perbedaan tersebut seperti halnya perihal pengoperasian transportasi umum.

Aturan yang berlaku saat PSBB juga membuat masyarakat binggung dan hal ini berpotensi membuat ekonomi Indonesia memburuk.

"PSBB menyebabkan sektor ekonomi jadi terhenti kalau kebijakan itu terlalu lama," ujarnya dikutip dari TribunJabar.id.

Ia mengaku setuju dengan pernyataan kepala BNPB Doni Munardo terkait penanganan wabah Covid-19 diserahkan ke kebijakan daerah masing-masing. 

Anggota DPR RI Dedi Mulyadi saat memantau Sungai Cilamaya yang tercemar di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019).
Anggota DPR RI Dedi Mulyadi saat memantau Sungai Cilamaya yang tercemar di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019). (Kompas.com)

Dedi mengatakan setiap daerah memiliki kearifan lokal masing-masing dan budaya masyarakat kota dengan desa berbeda.

Karena itu, penerapan PSBB dianggapnya tidak efektif.

Baca: Ganjar Berikan Bantuan Pada Warga Jateng yang Bertahan di Jabodetabek, Pendaftaran Masih Dibuka

"Misalnya, kalau Gubernur DKI bisa total menggerakkan seluruh satkeholder disekitarnya karena kulutur alamnya homogen. Kultur alamnya ya, bukan manusianya," ungkapnya dikutip dari Kompas.com.

Konsep Karantina Komunal

Masih dari TribunJabar.id, mantan Bupati Purwakarta ini menjelaskan konsep karantina komunal yang menurutnya lebih efektif daripada PSBB.

"Jadi karantina komunal itu penguatan berbasis wilayah di dusun, RW, hingga RT. Mereka yang mencegah jangan sampai ada warga yang positif Covid-19 di wilayahnya," ungkapnya.

Dengan karantina komunal, ia berharap roda ekonomi masyarakat masih bisa berjalan.

Penjagaan di perbatasan desa diperlukan untuk memantau keluar masuknya warga.

Pada karantina komunal gotong royong antar warga diperlukan jika ada pasien di desanya dinyatakan positif Covid-19.

Pembuatan tempat untuk karantina mandiri dan saling menjaga antar warga.

Jika di wilayahnya ada yang positif, lanjut Dedi, maka yang bersangkutan harus diisolasi secara mandiri. Bisa dengan mengontrak di satu rumah atau memanfaatkan bangunan sekolah di wilayah tersebut.

"Orang yang keluar untuk hal penting, misalnya mau berobat atau pergi ke pasar diberi izin tapi jika kepentingannya tidak jelas jangan sampai keluar," imbuh pria 49 tahun ini.

Satu per satu pengendara sepeda motor yang melintas dihentikan. Mereka ditanya keperluannya ke luar pada dini hari saat waktu PSBB Sidoarjo. di PSBB JIlid II yang mulai hari ini, 12 Mei 2020 aturan lebih tegas.
Satu per satu pengendara sepeda motor yang melintas dihentikan. Mereka ditanya keperluannya ke luar pada dini hari saat waktu PSBB Sidoarjo. di PSBB JIlid II yang mulai hari ini, 12 Mei 2020 aturan lebih tegas. (Surya/M Taufik)

Prinsip karantina komunal adalah warga tetap  bisa berinteraksi dan berkegiatan sehingga ekonomi bisa tetap berjalan.

"Orang tetap bisa ke sawah, tetap bisa ke kebun untuk menjaga stabilitas ekonomi masyarakat desa yang berbasis lingkungan," katanya.

Selain itu, ketersidaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas desa, alat pengukur suhu tubuh, tempat cuci tangan, masker, hingga ambulans juga harus diperhatikan.

Baca: Ridwan Kamil Buka Data untuk Buktikan PSBB Sangat Ilmiah dan Berhasil di Provinsi Jawa Barat

"Juga dilakukan tes swab secara berkala sehingga perkembangan Covid-19 ini bisa diketahui. Warga pun tenang karena ekonominya tetap berjalan," ujar pria kelahiran Subang ini.

Alasan lain bahwa PSBB tak efektif adalah kebijakan itu malah memicu problem sosial akibat bantuan dampak wabah corona yang tak merata dan salah sasaran.

"Daripada tidak jelas, ya sudah hentikan saja PSBB karena membingungkan masyarakat oleh regulasi yang aneh-aneh. Selain itu, masyarakat yang bandel tetap saja bebas dan lolos pemeriksaan. Mobil hanya dipelanin di pos pemeriksaan dan lolos begitu saja," kata Dedi.

Selain itu, kata Dedi, kebijakan dalam pencegahan penyebaran virus corona akhirnya bersifat politis. Kepanikan berlebihan menyebabkan pemerintah membuat tafsir masing-masing atas aturan.

Lalu tafsir itu dibuat berdasakan kepentingan diri masing-masing bukan untuk publik, karena berkaitan politik, seperti untuk pilpres dan pilkada.

"Kalau urusan penyakit dibawa ke tafsir begini, kasihan rakyat," katanya.

Dampak lain dari PSBB adalah membuat aparat jenuh saat menjaga pos pemeriksaan sehingga mudah emosi ketika menghadapi masyarakat yang bandel. Tapi di sisi lain, masyarakat juga mulai jenuh karena tak bebas bepergian.

"Pegawai Dishub apa tak jenuh. Satpol PP apa tak jenuh? Akhirnya mereka emosi di jalan. Dan, masyarakat pun emosi karena dihalangi ketika bepergian hingga sama-sama emosi dan memicu konflik," kata mantan bupati Purwakarta itu.

(Tribunnews.com/Mohay) (Kompas.com/Putra Prima) (TribunJabar.id/Nandri Prilatama)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan