Dewas KPK Panggil Deputi Penindakan Hingga Jubir terkait OTT THR Rektor UNJ ke Pejabat Kemendikbud
Haris mengatakan pemanggilan itu hanya bersifat untuk meminta klarifikasi. Dia enggan disebut sebagai sebuah pemeriksaan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Komisi (Dewas KPK) memanggil beberapa pihak internal pada Kamis (4/6/2020) hari ini.
Pemanggilan terkait siaran pers operasi tangkap tangan (OTT) Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komaruddin serta beberapa pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 21 Mei 2020.
Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris mengungkapkan, pihaknya memanggil Deputi Penindakan Karyoto, Plt Juru Bicara Ali Fikri, beberapa tim Pengaduan Masyarakat (Dumas), dan tim penyelidik yang melakukan OTT.
Haris mengatakan pemanggilan itu hanya bersifat untuk meminta klarifikasi. Dia enggan disebut sebagai sebuah pemeriksaan.
"Sifatnya klarifikasi atau minta keterangan, bukan diperiksa," kata Haris saat dimintai konfirmasi, Kamis (4/6/2020) malam.
Baca: Status Hukum Kasus Suap THR Pejabat Kemendikbud Masih Tahap Penyelidikan
Ketika dikonfirmasi lebih jauh hal apa saja yang ditanyakan dan hasil dari pertemuan itu, Haris sungkan membeberkannya.
"Sudah ya," kata Haris singkat.
Sebelumnya, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sudah menyampaikan surat kepada Dewas KPK berupa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto dalam memberikan rilis OTT di Kemendikbud pada 21 Mei 2020.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyebut Karyoto menyampaikan rilis OTT itu seorang diri.
Tindakan tersebut menurut Boyamin bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewas KPK, yang berisi bahwa yang diperkenankan memberikan pernyataan terkait penanganan suatu perkara atau kasus kepada media adalah pimpinan KPK dan/atau juru bicara KPK.
Selain itu, MAKI juga mempersoalkan penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang dilakukan pengamanan dan/atau pemeriksaan terkait OTT di Kemendikbud.
“Padahal semestinya penyebutan nama dengan inisial demi azas praduga tidak bersalah dan selama ini rilis atau konferensi pers KPK atas OTT selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT,” kata Boyamin dalam keterangannya, Selasa (26/5/2020).
Baca: Komentar Rektor Unair Saat RS Universitas Airlangga Disebut Kewalahan Hadapi Pasien Corona
Selanjutnya, MAKI juga menyoroti pernyataan Karyoto dalam narasi pembukaan awal rilis yang menyebut 'merespons pertanyaan rekan-rekan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT, dapat kami jelaskan sebagai berikut'.
“Hal ini diduga tidak benar karena informasi OTT tidak bocor, sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan oleh Karyoto kepada wartawan dalam bentuk rilis,” ujar Boyamin.
Seperti diketahui, KPK bersama Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud melakukan OTT, Rabu, 20 Juni 2020.
Dari hasil operasi senyap di kantor Kemendikbud sekira jam 11.00 WIB itu, tim berhasil mengamankan Dwi Achmad Noor (Kabag Kepegawaian UNJ) beserta barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dolar AS dan Rp27.500.000.
Usai mengamankan pegawai kementerian yang kini dipimpin Nadiem Makariem tersebut, tim memeriksa sejumlah pihak, antara lain Komarudin (Rektor UNJ), Sofia Hartati (Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan), Tatik Supartiah (Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud), Diah Ismayanti (Karo SDM Kemendikbud), Dinar Suliya (Staf SDM Kemendikbud), serta Parjono ( Staf SDM Kemendikbud).
Pemeriksaan terhadap para pihak ini dilakukan karena mereka dinilai terlibat dalam perkara pemberian uang Tabungan Hari Raya (THR).
Menelisik lebih mendalam terkait kasus ini, dalam konstruksi perkara yang dipaparkan Deputi Penindakan KPK Karyoto melalui siaran pers pada Kamis, 21 Juni malam, Komarudin disebut aktif meminta sejumlah uang kepada sejumlah pihak.
Tercatat, Komarudin pada 13 Mei 2020, diduga meminta duit kepada Dekan Fakultas dan Lembaga di UNJ.
Baca: Istri Nurhadi Bakal Ikut Jadi Tersangka? Ini Kata Ketua KPK
Permintaan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan uang THR masing-masing Rp5 juta melalui Dwi Achmad Noor.
Atas permintaan Komarudin, pada 19 Mei 2020 terkumpul uang sebesar Rp55 juta dari 8 Fakultas, 2 Lembaga Penelitian dan Pascasarjana.
Adapun, setelah uang terkumpul, rencanannya akan diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM di Kemendikbud.
Sebagai tindak lanjut dari instruksi sang Rektor, pada tanggal Rabu, 20 Mei 2020, Dwi Achmad Noor membawa uang Rp37.000.000 ke kantor Kemendikbud.
Sesampainya di kantor Kemendikbud, selanjutnya duit THR langsung diserahkan kepada Karo SDM Kemendikbud sebesar Rp5 juta, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp2,5 juta serta Parjono dan Tuti (staf SDM Kemendikbud ) masing-masing sebesar Rp1 juta.
Namun nahas, usai aksi bagi-bagi duit dilakukan, Dwi Achmad Noor diciduk tim KPK dan Itjen Kemendikbud.
Yang mengejutkan, alih-alih menetapkan sang rektor sebagai tersangka, KPK justru memutuskan menyerahkan kasus tersebut ke pihak kepolisian, dengan alasan belum belum menemukan unsur pelaku penyelenggara negara.
Penyerahan perkara ini terkesan aneh, sebab berdasarkan konstruksi perkara, Rektor UNJ Komarudin disebut aktif meminta uang kepada sejumlah pihak, guna diberikan kepada sejumlah pejabat Kemendikbud.
Di lain pihak, jabatan rektor masuk dalam unsur penyelenggara negara, yang perkaranya bisa ditangani oleh KPK.
Hal ini sesuai Pasal 2 Angka 7 UU No 28 TAHUN 1999 Tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan ‘pejabat lain yang memiliki fungsi strategis’ adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; Jaksa; Penyidik; Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan bendaharawan proyek.
--