Rabu, 8 Oktober 2025

Virus Corona

Muhamadiyah Pilih Pakai Istilah 'New Reality' Dibanding 'New Normal'

Menurut Abdul, penggunaan istilah new normal lebih bersifat netral dibanding new reality.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Hasanudin Aco
Tribun Jateng/Hermawan Handaka
Sejumlah pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, ASN, dan wartawan mengikuti ibadah Salat Jumat yang kembali digelar di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Kantor Pemprov Jateng, Kota Semarang, setelah sebelumnya ditiadakan akibat pandemi virus corona (Covid-19), Jumat (5/6/2020). Protokol kesehatan dilakukan ketat sejak masuk maupun keluar ruangan. Jemaah yang datang wajib menggunakan masker, diperiksa suhu tubuh, dan memakai hand sanitizer sebelum memasuki ruangan. Di dalam ruangan disiapkan tanda untuk meletakkan sajadah. Jarak antartanda ini lebih dari 1 meter. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Yasin Maimoen tampak mengikuti salat yang dipimpin imam Abdul Rohim tersebut. Tribun Jateng/Hermawan Handaka 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan pihaknya lebih memilih konsep new reality dibanding new normal untuk mendefinisikan kondisi di tengah pandemi corona ini.

Menurut Abdul, penggunaan istilah new normal lebih bersifat netral dibanding new reality.

Dirinya menilai konsep new reality lebih bersifat netral.

"Saya sebenarnya secara konseptual tidak terlalu setuju dengan istilah new normal itu tapi lebih cenderung menggunakan istilah new reality atau realitas baru," ujar Abdul dalam dialog antar tokoh beragama melalui saluran daring, Senin (8/6/2020).

"New reality lebih bersifat netral dan kemudian lebih mudah untuk kita menjelaskannya. New Normal itu ada dimensi, ada dimensi moral dan ada dimensi ideologinya sebenarnya," tambah Abdul.

Menurutnya dibutuhkan ukuran yang jelas mengenai situasi new normal dalam kehidupan saat ini.

Bahkan Abdul menilai konsep new normal tidak dikenal dalam konstruksi perundang-undangan di Indonesia.

Abdul menilai istilah ini menjadi lazim digunakan setelah diungkapkan pemimpin negara.

"Cuma karena istilah ini dikemukakan oleh seorang pemimpin negara jadi kita pun seperti harus hiruk-pikuk dengan istilah itu," tutur Abdul.

Meski begitu, Abdul mengatakan kedua konsep tersebut tidak perlu menjadi perdebatan.

Saat ini, menurutnya yang perlu dilakukan adalah menentukan sikap dalam menghadapi kondisi tersebut.

"Dalam kaitan ini memang ada sesuatu yg kita harus menghadapi sesuatu itu dengan segala kekuatan yang kita miliki. Dan tidak mungkin juga itu kita hentikan, karena proses sudah senantiasa berjalan," pungkas Abdul.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved