Sabtu, 6 September 2025

Berkaca Kasus Evi Novida, KPU Usul 'Putusan MK Bersifat Final dan Mengikat' dan Ditulis di UU

Ilham Saputra meminta pembentuk undang-undang agar mencantumkan di undang-undang sifat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), final dan mengikat.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasanudin Aco
Danang Triatmojo/Tribunnews.com
Ilham Saputra 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Ilham Saputra, meminta pembentuk undang-undang agar mencantumkan di undang-undang sifat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), final dan mengikat.

"Bisa dituliskan di undang-undang keputusan MK itu final dan mengikat. Dan tidak ada lagi data pembanding atau pembanding terkait hasil pemilu. Karena hasil (putusan,-red) dari MK itu final dan binding (mengikat,-red)" kata Ilham, di sesi diskusi, Pemilu Serentak 2019: Catatan Pengalaman Indonesia' yang disiarkan secara online, Minggu (12/7/2020).

Dia mencontohkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan tetap Evi Novida Ginting dari posisi komisioner KPU RI.

Baca: Sedang Berperkara di PTUN, Perludem Minta Presiden Tidak Segera PAW Eks Komisioner KPU Evi Novida

Evi diberhentikan karena dinilai melanggar kode etik berupa mengintervensi jajaran KPU Provinsi Kalimantan Barat terkait penetapan hasil perolehan suara dan penetapan calon terpilih anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.

Padahal, kata Ilham, Evi, selaku koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu KPU RI memberikan arahan kepada jajaran KPU Provinsi Kalimantan Barat untuk mengikuti putusan MK.

"Kalau ada rekomendasi kembali setelah putusan MK, maka pada kasus Kalimantan Barat seperti Ibu Evi dianggap melakukan kesalahan teknis. Ini menjadi soal karena putusan MK itu final dan binding," ujarnya.

Permasalahan itu bermula pada saat KPU Kabupaten Sanggau menetapkan rekapitulasi penghitungan suara pemilihan legislatif (pileg) 2019 di internal Partai Gerindra atas nama Hendri Makaluasc dan Cok Hendri untuk DPRD Provinsi Kalimantan Barat.

Semula, perolehan suara untuk Hendri Makaluasc 5.325 suara, sedangkan Cok Hendri 6.599 suara. Melihat hasil tersebut, Hendri Makaluasc mengajukan permohonan PHPU ke MK.

Berdasarkan putusan Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019, MK menyatakan perolehan suara yang benar untuk Pemohon atas nama Hendri Makaluasc, Calon Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat 6 Partai Gerindra Nomor Urut 1, Daerah Pemilihan Kalimantan Barat 6 adalah 5.384 suara.

Adapun, untuk perolehan suara Cok Hendri, pihak MK tidak melakukan koreksi. Sehingga, perolehan suara Cok Hendri yang ditetapkan sebesar 6.599. KPU RI meminta KPU Kalimantan Barat menjalankan amar putusan MK.

Kemudian, KPU Kalimantan Barat menetapkan kursi dan calon terpilih berdasarkan putusan MK. Itu ditetapkan KPU Kalimantan Barat. Merasa keberatan atas keputusan KPU, Hendri mengajukan gugatan kepada Bawaslu setempat.

Pada tanggal 6 sampai dengan 7 Juli 2019, KPU Kabupaten Sanggau melaksanakan rapat pleno untuk melaksanakan putusan Bawaslu Sanggau. Di rapat itu, KPU Kabupaten Sanggau melakukan koreksi pada Sertifikat Hasil Penghitungan Perolehan Suara Formulir Model DAAI dan Formulir model DAA1-DPRD Provinsi Partai Gerindra di 19 Desa pada wilayah Kecamatan Meliau.

Baca: Ombudsman RI Menyayangkan Sikap DKPP Terkait Pemberhentian Eks Komisioner KPU Evi Novida

Hasil koreksi tersebut ada perubahan dimana suara Hendri Makaluasc dari 5.325 menjadi 5.384 sedangkan suara Cok Hendri Ramapon dari 6.599 menjadi 4.185. Suara Hendri sebesar 5.384 dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019.

Putusan Bawaslu memenangkan gugatan Hendri Makaluasc dan mengoreksi perolehan saura saudara Cok Hendri. Sehingga posisi berubah tadinya Hendri Makaluasc tidak terpilih atas putusan Bawaslu Hendri Makaluasc menjadi calon terpilih.

Melihat hal tersebut, KPU Kalimantan Barat kembali berkonsultasi dengan KPU RI. KPU RI meminta KPU Kalimantan Barat untuk melaksanakan kembali putusan MK.

Keputusan KPU RI mematuhi putusan MK itu sudah sesuai ketentuan Pasal 24 c ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 24 c ayat 1 UUD 1945 menjelaskan beberapa kewenangan MK, salah satunya memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

"Sehingga walaupun dianggap oleh DKPP ketika itu ada persoalan kesalahan penghitungan atau sebagainya. Tetapi itu putusan MK, maka MK tidak menghitung kembali. Ini loh penghitungan MK," tambah Ilham.

Untuk diketahui, DKPP mengusulkan pemberhentian dengan tidak hormat Evi Novida Ginting Manik, sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, karena berdasarkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020, yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

Akhirnya, Evi Novida Ginting diberhentikan secara tidak hormat dari jabatan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2020.

Hal itu tertuang di Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Masa Jabatan Tahun 2017-2020.

Keputusan Presiden itu ditetapkan di Jakarta pada 23 Maret 2020. Keputusan Presiden itu ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Lalu, Evi mengajukan upaya adminstratif keberatan kepada Presiden Republik Indonesia terhadap Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 pada tanggal 26 Maret 2020 dan mengajukan gugatan pembatalan pemecatan dirinya sebagai KPU RI periode 2017-2022 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan