Senin, 8 September 2025

RUU Perampasan Aset

Draft RUU Perampasan Aset Disorot, Ada Pasal yang Berpeluang Mengkriminalisasi Masyarakat

acana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menuai sorotan tajam.

|
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Hasanudin Aco
Istimewa
KRITISI DRAF RUU PERAMPASAN ASET - Pemerhati Politik Y. Paonganan. Dia mengingatkan masyarakat agar tidak buru-buru mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perampasan aset karena ada sejumlah pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menuai sorotan tajam.

Pemerhati Politik Y Paonganan atau yang akrab disapa Ongen, mengingatkan publik agar tidak serta-merta mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan aturan tersebut tanpa memahami substansi isinya.

Menurut Ongen, dorongan publik terhadap RUU Perampasan Aset lebih banyak dilatarbelakangi oleh kemarahan sosial atas gaya hidup hedonis segelintir pejabat negara dan kelompok borjuis. 

“Kemarahan publik itu sangat wajar. Namun, jangan sampai desakan itu justru menjadi bumerang ketika isi RUU ini diberlakukan,” kata Ongen dalam keterangan tertulis dikutip, Sabtu (6/9/2025).

Doktor lulusan IPB ini menegaskan terdapat pasal dalam draf RUU yang menyebutkan negara berhak merampas harta seseorang hanya berdasarkan informasi atau dugaan tanpa keputusan pengadilan.

Hal itu, kata Ongen, sangat berbahaya karena membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat luas.

Dalam draf RUU tersebut, Pasal 2 mengatur bahwa perampasan aset tidak harus menunggu putusan pidana (civil forfeiture).

Pasal 5 memperluas cakupan perampasan terhadap aset yang tidak seimbang dengan pendapatan atau tidak dapat dibuktikan asal-usulnya.

Sementara Pasal 6 menyebutkan perampasan dapat dilakukan terhadap aset bernilai minimal Rp100 juta terkait tindak pidana dengan ancaman hukuman empat tahun atau lebih. 

Draf juga menegaskan, perampasan aset tidak menghapus kewenangan aparat untuk tetap mempidanakan pelaku, serta mengatur tata kelola aset hingga perlindungan pihak ketiga beritikad baik.

“Substansi dasar dari draf ini memberi hak negara untuk merampas harta rakyat hanya dengan dugaan. Padahal, yang paling rentan justru masyarakat menengah ke bawah. Sementara kalangan kaya bisa saja terbebas dengan memanipulasi sumber harta melalui sistem keuangan dan manajemen aset yang lebih rapi,” tegas Ongen.

Dia juga mengingatkan bahwa tidak ada jaminan seluruh harta masyarakat dinilai halal atau bersih dari kecurigaan aparat. Perbedaan tafsir antara halal dan haram berpotensi ditentukan secara subjektif oleh penegak hukum.

“Kalangan menengah ke bawah bisa jadi korban utama. Sementara para pemilik modal besar dengan segala fasilitasnya akan tetap aman,” tambahnya.

Ongen menilai, jika RUU ini disahkan tanpa koreksi mendalam, Indonesia yang menganut sistem demokrasi bisa bermetamorfosis menjadi negara dengan wajah lebih jahat dari monarki lalim.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan