Pemerintah dan DPR Didesak Buka Draft Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme
pemerintah dan DPR harus menyampaikan draft rancangan Perpres yang sudah jadi tersebut ke publik.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme secara terbuka.
Karenanya menurut mereka pemerintah dan DPR harus menyampaikan draft rancangan Perpres yang sudah jadi tersebut ke publik.
Baca: Mahfud MD: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Sudah Dikirim ke DPR
Baca: Dua Istilah dalam Rancangan Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme Ini Dinilai Janggal
Baca: Pengamat Militer Imbau Pemerintah Hati-hati dan Perhatikan Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Hal tersebut disampaikan anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan yang juga Direktur Imparsial, Al Araf, pada Minggu (2/8/2020)
"Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka. Dengan demikian, adalah menjadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk menyampaikan draft rancangan Perpres yang sudah jadi tersebut kepada publik. Pemerintah dan DPR tidak boleh menutup-nutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat," kata Al Araf kepada Tribunnews.com.
Selain itu ia mengatakan koalisi berpandangan bahwa Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme perlu memuat prinsip dan substansi pasal-pasal antara lain pertama yakni tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme fungsinya hanya penindakan.
Menurut koalisi, fungsi penindakan itu sifatnya hanya terbatas yakni untuk menangani pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat.
Selain itu koalisi juga berpandangan ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam penanganan terorisme pada objek vital strategis.
Terkait dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden, koalisi berpandangan, sifatnya harus aktual, ketika terjadi aksi terorisme dan bukan pada saat perencanaan.
Koalisi juga berpandangan eskalasi ancaman tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer bukan pada kondisi tertib sipil.
Koalisi berpandangan TNI tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme.
Menurut koalisi pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draft lama rancangan perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan HAM.
"Kedua, penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan politik negara yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR," kata Al Araf.
Menurutnya hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Ia mengatakan keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya.
"Ketiga, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan yang terakhir (last resort) yakni dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme tersebut," kata Al Araf.
Keempat, koalisi berpandangan pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme sifatnya sementara dan dalam jangka waktu tertentu.
Menurut koalisi pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat permanen karena tugas utama TNI sejatinya adalah dipersiapkan untuk menghadapi perang.
Kelima, menurut koalisi, pelibatan TNI tersebut harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlak dan konsekuensinya seluruh prajurit TNI yang terlibat dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri harus tunduk pada KUHAP, KUHP dan Undang-Undang HAM.
Keenam, koalisi berpandangan, alokasi anggaran utnuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalu APBN.
Hal itu mengingat fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan) sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI.
Selain itu, menurut koalisi, pendanaan di luar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing masing.
"Kami berpandangan bahwa Pemerintah dan DPR harus benar benar serius dan hati-hati dalam membahas rancangan Perpres tersebut sehingga masukan-masukan di atas sudah sepatutnya diakomodasi dalam rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang akan dibuat pemerintah. Jika hal itu tidak dilakukan, maka rancangan Perpres tersebut akan membahayakan kehidupan negara hukum, HAM dan demokrasi di Indonesia," kata Al Araf.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan tersebut terdiri dari KontraS, Imparsial, Elsam, PBHI, Setara Institute, HRWG, YLBHI, Public Virtue Institute , ICW, LBH Pers, LBH Jakarta, ICJR, Perludem, dan Pilnet Indonesia.
Diberitakan sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme sudah selesai.
Selain itu ia juga mengatakan pemerintah juga telah berdiskusi dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Hal tersebut disampaikan Mahfud ketika berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan pada Rabu (29/7/2020).
"Rancangannya (Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme) sudah jadi, sudah ke DPR, perdebatan cukup seru. Kita juga sudah bicara dengan sejumlah kalangan, termasuk teman-teman LSM. Bahwa teror itu bukan urusan hukum semata, tidak semuanya diselesaikan hanya oleh polisi,” kata Mahfud dalam keterangan yang disampaikan Tim Humas Kemenko Polhukam pada Kamis (30/7/2020).
Meski begitu Mahfud mengatakan masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan.
Ia pun optimis sebentar lagi DPR akan segera memproses Perpres tersebut.
"Akhirnya semuanya memahami. Saya sudah ditugaskan Presiden mengharmoniskan. Tinggal beberapa yang perlu diperbaiki. Dalam waktu tidak lama DPR segera memproses," kata Mahfud.