Selasa, 7 Oktober 2025

Pontjo Sutowo: SPPN Tidak Mampu Mengintegrasikan dan Mensinkronisasi Pembangunan

Pontjo Sutowo menilai SPPN tidak mampu mengintegrasikan dan mensinkronisasi pembangunan bangsa.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Hasanudin Aco
ISTIMEWA
Pontjo Sutowo. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Telah berjalan selama 16 tahun, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004 ternyata memiliki berbagai kelemahan.

SPPN yang ada sekarang dinilai tidak mampu mengintegrasikan dan mensinkronisasikan pembangunan antar waktu, antar ruang, antar daerah, dan antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Cenderung bias terhadap agenda eksekutif, kurang menampung agenda cabang-cabang kekuasaan lainnya secara menyeluruh, sehingga dinilai tidak mencerminkan wujud kehendak rakyat seperti halnya GBHN," kata Ketua Aliansi Kebangsaan/Ketua Umum FKPPI/Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo saat FGD Restorasi Haluan Negara Dalam Paradigma Pancasila di Gedung MPR RI, Jakarta, Senin (9/11/20).

Baca juga: Ahmad Basarah: GM FKPPI Tak Boleh Surut Kawal Ideologi Negara dan NKRI

Seperti diketahui, sejak amandemen UUD 1945 yang telah menghilangkan GBHN sebagai haluan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan nasional kita dirancang berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004.

Sesuai dengan SPPN tersebut, proses perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui proses politik, proses teknokratik, dan proses partisipatif untuk menghasilkan dokumen perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan.

"Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor: 17 tahun 2007 dinilai tidak mampu menjamin kesinambungan pembangunan antar rejim pemerintah," katanya.

RPJPN secara substantif, kata dia  tidak memberikan arah yang jelas tentang pembangunan yang kita tuju dalam masa dua puluh tahun ke depan karena Presiden ikut menetapkan Undang-Undang, pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional cenderung bias terhadap agenda kampanye Kepresidenan, sehingga banyak hal yang kurang mendapat perhatian.

Pontjo menilai seharusnya pembangunan nasional yang seharusnya merupakan gerak kemajuan secara terencana, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan, bukan membuat agenda pembangunan lebih banyak merespon hal-hal mendesak berjangka pendek yang seringkali bersifat tambal-sulam, dengan mengabaikan persoalan-persoalan fundamental yang berjangka panjang.

"Pengabaian hal-hal fundamental itulah sesungguhnya yang menjadi biang kemunculan aneka kelemahan, ketimpangan, dan ketertinggalan pembangunan kita yang melahirkan beragam ekspresi kekecewaan sosial," katanya.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengakui ada dorongan kuat dari publik agar MPR RI dapat menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), seperti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.

Hal itu muncul dari safari kebangsaan yang dilakukan pimpinan MPR RI beberapa waktu lalu sebelum pandemi covid-19.

Survei yang dilakukan MPR RI periode 2014-2019, sebanyak 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu.

"Alasan yang paling dirasakan dan yang paling dekat dengan kepentingan masyarakat adalah karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan,” ujar Bamsoet.

Dikatakan Bambang, keberadaan PPHN tidak akan mengembalikan posisi presiden sebagai mandataris MPR RI, tidak akan mengembalikan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, dan tidak akan mengganggu sistem presidensial pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

PPHN hanya memastikan agar pembangunan tetap berkelanjutan, serta adanya integrasi sistem perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah.

Bambang menyebut, negara besar seperti China, India, dan Rusia, maupun negara seperti Singapura saja memiliki haluan negara.

China, misalnya, dalam salah satu haluan negaranya menyatakan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi pertama dunia di tahun 2030.

"Keberadaan PPHN di Indonesia juga tak jauh beda seperti di berbagai negara lainnya. Didalamnya memuat tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia dalam beberapa tahun ke depan," katanya.

Sebagai gambaran awal, PPHN bisa menggambarkan apa yang ingin dicapai Indonesia pada usia kemerdekaannya yang ke-100 di tahun 2045.

"Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, ataupun lainnya. Bagaimana cara mewujudkannya, diserahkan kepada presiden-wakil presiden terpilih,” kata Bamsoet.

Prof. Ravik Karsidi dari Forum Rektor Indonesia memaparkan tiga skenario mengembalikan kembali keberadaan haluan negara dalam sistem ketatanegaraan berbangsa dan bernegara.

Alternatif pertama, melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk membuat dan menetapkan PPHN.

Alternatif kedua, merevisi UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU No. 17/2014 tentang MD3, serta UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Alternatif ketiga melalui konvensi ketatanegaraan.

"Pilihan paling rasional dan paling banyak disuarakan adalah alternatif pertama, yakni melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945,” kata Bamsoet.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved