Kasus Djoko Tjandra
Januari 2019 Nama Djoko Tjandra Masih Ada di Red Notice, Tapi Tak Bisa Ditangkap, Kenapa?
Nama Djoko Tjandra masuk dalam red notice Interpol sejak sebulan setelah Juni 2009, pascaputusan Peninjauan Kembali (PK) yang menyatakan dia bersalah.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra disebut eks Sekretaris National Central Bureau (Ses NCB) Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Wibowo pada Januari 2019 masih tercatat dalam daftar red notice Interpol.
Nugroho mengatakan Djoko Tjandra yang pada saat itu buron tidak bisa ditangkap karena belum ada permintaan kerjasama penangkapan.
Demikian dituturkan Nugroho saat bersaksi dalam sidang kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/11/2020) malam.
Baca juga: Polri Belum Putuskan Jadwal Sidang KKEP untuk Irjen Napoleon dan Brigjen Nugroho
"Nama Djoko Tjandra pada bulan Januari 2019 masih ada di red notice Interpol tetapi sudah tidak bisa lagi dimintakan untuk kerja sama penangkapan lagi," tutur Nugroho.
Sebagaimana diketahui, nama Djoko Tjandra masuk dalam red notice Interpol sejak sekira 1 bulan setelah Juni 2009, pascaputusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 yang menyatakan ia bersalah dan divonis 2 tahun penjara.

"Datanya masih bisa dilihat tetapi tidak menimbulkan arti karena yang bersangkutan pernah menikahkan anak di Korea Selatan tetapi tidak ada proses apa-apa di Korsel oleh kita saat itu," kata Nugroho.
Menurutnya, jika tak ada permohonan perpanjangan dari penegak hukum, red notice itu bakal habis masa berlakunya 5 tahun sejak diterbitkan, artinya red notice Djoko Tjandra habis masa berlakunya di tahun 2014.
"Saat rapat saya diberitahukan bahwa menurut aturan sejak Juni 2019 status red notice Djoko Tjandra sudah tidak ada lagi, sudah terhapus by system, dan memang tidak ada permintaan perpanjangan dari aparat penegak hukum," kata dia.
Baca juga: Djoko Tjandra Mengaku Punya Surat Bebas Covid-19 Internasional, Kuasa Hukum Beri Penjelasan
Nugroho juga mengakui yang menandatangani surat balasan kepada istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, yang menanyakan soal status red notice Djoko Tjandra pada bulan April 2020.
"Saya terima surat Anna Boentara saat rapat dengan Kadivhubinter Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Surat itu diterima sesuai dengan administrasi internal," beber Nugroho.
Nugroho mengatakan balasan surat dari dirinya kepada Anna Boentara hanya hanya menginfokan soal status red notice Djoko Tjandra.

"Saya balas karena perintah dari pimpinan balas saja. Kalau sudah dikatakan (untuk membalas) oleh pimpian, dalam hierarki, berarti sudah disetujui," kata Nugroho.
Pimpinan yang dimaksud adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte.
"Pimpinan sudah minta saya untuk tanda tangan dan dari bawah, yaitu kabag sudah dikonsep. Saya tanya Kabag sudah diperintah, lalu saya tanda tangan dan surat kembali lagi kepada Kabag walau surat balasan itu tidak ada disposisinya," beber Nugroho.
Menurut Nugroho, Interpol tidak berwenang untuk membuat Daftar Pencarian Orang (DPO), tetapi hanya berwenang untuk mengeluarkan red notice karena Interpol hanya menjadi administrator pelaksana untuk pembantuan tugas luar negeri.
Nugroho saat ini sudah dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri sejak kasus Djoko Tjandra mencuat.
Dalam dakwaan disebutkan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kabag Jatinter Set NCB Interpol Divhubinter Polri Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat kepada pihak Imigrasi pada tanggal 29 April 2020 yang ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.
Isi surat tersebut menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7 dan diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.
Selain itu, Napoleon juga memerintahkan Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pada tanggal 4 Mei 2020 perihal pembaharuan data Interpol Notices yang ditandatangani Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi yang isinya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.
Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 2020, Irjen Pol Napoleon Bonaparte memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat soal penghapusan red notice yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan ditandatangnai Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.
Isi surat tersebut menginformasikan bahwa red notice Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 setelah 5 tahun.
Pada tanggal 8 Mei 2020, Irjen Pol Bonaparte memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pemberitahuan yang ditandatangani Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo untuk Anna Boentaran yang menerangkan bahwa setelah pemeriksaan pada Police Data Criminal ICPO Interpol didapatkan Djoko Tjandra tidak lagi terdata sebagai subjek red notice ICPO Interpol, Lyon, Prancis.
Dalam perkara ini, Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap senilai 150.000 dolar AS atau setara Rp2,2 miliar dari terpidana korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra agar menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.