Jawaban Polisi Soal Temuan Amnesty Internasional: Sampai Detik Ini Tidak Ada Laporan Kekerasan
Polri angkat bicara terkait temuan Amnesty Internasional yang menemukan 43 insiden kekerasan oleh polisi saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.
Penulis:
Igman Ibrahim
Editor:
Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri angkat bicara terkait temuan Amnesty Internasional yang menemukan 43 insiden kekerasan oleh polisi saat unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di berbagai daerah di Indonesia.
Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono membantah temuan yang diungkapkan oleh Amnesty Internasional. Menurutnya, tidak ada satu pun laporan insiden kekerasan yang dilakukan oleh Polri.
"Saya sudah cross check ke Polda Metro Jaya, ke Polda Jajaran dan Propam Polri. Sampai detik ini tidak ada laporan kekerasan yang dilakukan oleh Polri," kata Brigjen Awi di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (3/12/2020).
Baca juga: Pemerintah Diminta Lakukan Penyelidikan Temuan Amnesty International Soal Tindakan Kekerasan Polisi
Baca juga: AS Cabut Larangan Masuk bagi Prabowo Subianto, Kata Amnesty Internasional: Ini Bencana HAM
Menurut Awi, aparat kepolisian RI diklaim telah proporsional dan professional saat pengamanan unjuk rasa Omnibus Law yang lalu. Dia juga membeberkan pedoman hukum yang diterapkan oleh setiap petugas pengamanan.
Di antaranya, Peraturan Kapolri nomor 16 tahun 2006 tentang pedoman pengendalian massa, peraturan Kapolri nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dan Protap Kapolri nomor 1 tahun 2010 tentang penanggulangan anarki.
"Selama ini polri sudah proporsional dan profesional dalam pengamanan unjuk rasa beberapa waktu yang lalu terkait omnibus law," cetus Awi.
Dalam beleid pasal-pasal itu, ada tahapan yang dilakukan pasukan pengamanan terkait aksi unjuk rasa. Dimulai tahapan pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong hingga kendali tangan keras.

Untuk pencegahan, Polri menyiapkan berbagai kendaraan taktis seperti mobil sirine, mobil watercanon, dan berbagai kendaraan lainnya. Sementara tahapan perintah lisan berupa imbauan kepada massa untuk tetap tenang.
Selanjutnya, kata Awi, tahapan kendali tangan kosong merupakan peredaman massa dengan tanpa menggunakan alat. Sementara tahapan terakhir, kendali tangan keras menggunakan peralatan lengkap untuk mendorong massa.
"Kendali dengan tangan keras, kalau sudah pendemo mulai teriak dan mulai ada lemparan, itu akan ada lintas ganti. Nanti disitu mulailah yang dinamakan kendali tangan keras ini pasukan sudah mulai pegang tameng dengan tongkat," jelasnya.
Selain itu, Polri juga menyiapkan tahapan kendali senjata tumpul jika tahapan kendali tangan keras tidak berhasil meredam massa. Tindakan ini berupa penembakan gas air mata, semprotan cabai hingga watercanon.
"Kalau massa mulai meringsek melakukan lemparan, melakukan pembakaran. Kita menggunakan water canon, menggunakan tongkat, menghalau massa, memecah belah, menceraiberaikan massa. Karena psikologi massa demikian. Mereka itu berani kalau berkumpul, tapi kalau sudah sendiri bubar, kocar-kacir mereka sudah berlarian," jelasnya.
Awi memaparkan tahapan penanganan unjuk rasa yang terakhir adalah kendali senjata api atau lain untuk menghentikan perilaku kejahatan atau tersangka yang menyebabkan luka atau kematian anggota Polri.
Namun, tahapan itu tidak pernah dipakai oleh Polri. Sebaliknya, tahapan unjuk rasa hanya sampai dengan kendali senjata tumpul saja.
Awi menyampaikan penggunaan tongkat untuk melumpuhkan aksi unjuk rasa tidak masalah. Khususnya untuk aksi unjuk rasa yang telah berjalan anarkis.