Elite PDIP dan Demokrat Saling Sindir, Persaingan Megawati dengan SBY di Masa Lalu Diungkit Lagi
PDIP dapat memenangkan Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 bukan karena kader utama PDIP yang dicalonkan, yakni Joko Widodo (Jokowi).
Editor:
Hasanudin Aco
"Kalau prasasti batu tulis yang dimaksud dalam konteks politik, Prabowo Mega, ya Pemilu sudah selesai 2009, sehingga syarat jalankan pemerintahan bersama ketika menang pemilu terbukti saat itu kita kalah," kata Hasto.
Baca juga: Sekjen PDIP Respons Gerindra Soal Koalisi di Pilpres 2024: Akan Menjadi Pertimbangan
"Meskipun sekarang karena konflik internal Demokrat mulai ada suara yang gugat kemenangan pemilu 2004 2009 itu ternyata penuh dengan manipulasi," lanjutnya.
Kemudian, Hasto menyinggung manipulasi proses pemilihan umum saat itu.
Menurut Hasto, SBY yang saat itu sebagai calon presiden petahana menerapkan politik bansos.
Hal itu juga didasari dari penelitian seorang pakar asing sehingga menjuluki SBY sebagai bapak bansos Indonesia.
"Pada 2009 saya jadi saksi bagaimana manupulasi DPT itu dilakukan bagaimana politik bansos ala Thaksin itu dilakukan sehingga ada yang juluki SBY itu bapak bansos Indonesia. Karena penelitian Markus Mietzner, Februari 2009 ada dana 2 miliar US dolar yang dipakai untuk politik bansos," ujarnya.
"Karena meniru strategi Thaksin, politik populism yang kemudian menyandera APBN kita. Kemudian ditiru oleh seluruh kepala daerah Indonesia bagaimana berlomba adakan bansos sebagai bagian dari politik elektoral tapi mengandung kerawanan dalam kestabilan fiskal di masa yang akan datang," pungkas Hasto.
Dijawab Demokrat
Partai Demokrat angkat bicara mengenai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dijuluki sebagai bapak bansos (bantuan sosial) Indonesia.
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menyebut, pernyataan tersebut merupakan ungkapan kekecewaan Hasto.
Alasannya, pada Pilpres 2004 dan 2009, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kalah dari SBY yang merupakan kader Demokrat.
"Terkait dengan upaya mendiskreditkan Hasto terhadap Pak SBY yang dijuluki sebagai Bapak Bansos kami pandang sebagai ekspresi kekecewaan. Karena pada masa itu (Megawati) dua kali berturut-turut kalah dalam Pemilu berhadapan dengan Pak SBY," kata Kamhar kepada Tribunnews, Jumat (28/5/2021).
Kamhar menjelaskan, semua pihak yang mengerti ekonomi dan kebijakan publik bisa memahami dan menerima bahwa kebijakan SBY pada masa itu sangat tepat dengan memberi program Bansos dan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Hal itu dilakukan SBY untuk menjaga daya beli masyarakat yang kala itu terjadi krisis ekonomi global pada 2008.
"Dan sebagai kompensasi atas kenaikan BBM sehingga perekonomian nasional tetap terjaga dan terus tumbuh," ujarnya.
Penulis: Chaerul Umam/Hasanuddin A