Selasa, 26 Agustus 2025

Elite PDIP dan Demokrat Saling Sindir, Persaingan Megawati dengan SBY di Masa Lalu Diungkit Lagi

PDIP dapat memenangkan Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 bukan karena kader utama PDIP yang dicalonkan, yakni Joko Widodo (Jokowi).

Editor: Hasanudin Aco
Kolase/Tribun Jakarta
SBY dan Megawati 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Petinggi PDIP dan Demokrat saling sindir.

Hal itu diawali dari pernyataan Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto yang mengatakan PDIP tak ingin berkoalisi dengan Partai Demokrat karena memiliki basis ideologi berbeda.

"Pernyataan bahwa PDIP tidak mungkin berkoalisi dengan Demokrat pada kenyataannya sejak Pilpres 2004 memang belum pernah terjadi. Bukan karena soal ideologi, ngerti apa Hasto soal ideologi? Terlalu jauh kalau soal ideologi,"  kata Hasto dalam diskusi daring bertajuk 'Membaca Dinamika Partai dan Soliditas Koalisi Menuju 2024', yang digelar Para Syndicate, Jumat (28/5/2021).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief  menyebut PDIP tak akan mungkin berkoalisi dengan Demokrat.

Baca juga: Sekjen PDIP: Ada yang Juluki SBY Itu Bapak Bansos Indonesia

Andi mengatakan keengganan PDIP berkoalisi dengan Demokrat didasari fakta di masa lalu bahwa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri selalu takluk oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan kader Demokrat.

Diketahui pada pemilihan presiden 2004 dan 2009, Megawati mengalami kekalahan dari SBY.

"Persoalan sesungguhnya itu karena PDIP dua kali berhadapan dengan kader Demokrat yaitu SBY selalu mengalami kekalahan," kata Andi Arief kepada wartawan, Jumat (28/5/2021).

Bahkan, lanjut Andi, PDIP dapat memenangkan Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 bukan karena kader utama PDIP yang dicalonkan yakni Joko Widodo (Jokowi).

Andi mengatakan bahwa Jokowi bukan merupakan kader yang dididik di PDIP sejak lama.

"Jauh lebih lama Puan Maharani atau pun Megawati sendiri. Jokowi sebagai kader kost di PDIP pun bukan mengalahkan kader Demokrat. Bahkan prestasi dalam menjabat kita bisa saksikan jauh lebih baik di zaman kader Demokrat menjadi presiden hampir di semua bidang," ucapnya.

Andi juga mempertanyakan pengetahuan dan pemahaman Hasto soal ideologi partai.

SBY Disindir Bapak Bansos

Pada kesempatan itu, Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto juga mengatakan  ada pihak yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai bapak Bansos (bantuan sosial) Indonesia.

Awalnya, Hasto menyinggung soal perjanjian batu tulis antara PDIP dan Gerindra pada tahun 2009.

Dikatakan Hasto, kebersamaan tersebut selesai lantaran koalisi PDIP dan Gerindra kalah oleh Partai Demokrat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Kalau prasasti batu tulis yang dimaksud dalam konteks politik, Prabowo Mega, ya Pemilu sudah selesai 2009, sehingga syarat jalankan pemerintahan bersama ketika menang pemilu terbukti saat itu kita kalah," kata Hasto.

Baca juga: Sekjen PDIP Respons Gerindra Soal Koalisi di Pilpres 2024: Akan Menjadi Pertimbangan

"Meskipun sekarang karena konflik internal Demokrat mulai ada suara yang gugat kemenangan pemilu 2004 2009 itu ternyata penuh dengan manipulasi," lanjutnya.

Kemudian, Hasto menyinggung manipulasi proses pemilihan umum saat itu.

Menurut Hasto, SBY yang saat itu sebagai calon presiden petahana menerapkan politik bansos.

Hal itu juga didasari dari penelitian seorang pakar asing sehingga menjuluki SBY sebagai bapak bansos Indonesia.

"Pada 2009 saya jadi saksi bagaimana manupulasi DPT itu dilakukan bagaimana politik bansos ala Thaksin itu dilakukan sehingga ada yang juluki SBY itu bapak bansos Indonesia. Karena penelitian Markus Mietzner, Februari 2009 ada dana 2 miliar US dolar yang dipakai untuk politik bansos," ujarnya.

"Karena meniru strategi Thaksin, politik populism yang kemudian menyandera APBN kita. Kemudian ditiru oleh seluruh kepala daerah Indonesia bagaimana berlomba adakan bansos sebagai bagian dari politik elektoral tapi mengandung kerawanan dalam kestabilan fiskal di masa yang akan datang," pungkas Hasto.

Dijawab Demokrat

Partai Demokrat angkat bicara mengenai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dijuluki sebagai bapak bansos (bantuan sosial) Indonesia.

Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menyebut, pernyataan tersebut merupakan ungkapan kekecewaan Hasto.

Alasannya, pada Pilpres 2004 dan 2009, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kalah dari SBY yang merupakan kader Demokrat.

"Terkait dengan upaya mendiskreditkan Hasto terhadap Pak SBY yang dijuluki sebagai Bapak Bansos kami pandang sebagai ekspresi kekecewaan. Karena pada masa itu (Megawati) dua kali berturut-turut kalah dalam Pemilu berhadapan dengan Pak SBY," kata Kamhar kepada Tribunnews, Jumat (28/5/2021).

Kamhar menjelaskan, semua pihak yang mengerti ekonomi dan kebijakan publik bisa memahami dan menerima bahwa kebijakan SBY pada masa itu sangat tepat dengan memberi program Bansos dan BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Hal itu dilakukan SBY untuk menjaga daya beli masyarakat yang kala itu terjadi krisis ekonomi global pada 2008. 

"Dan sebagai kompensasi atas kenaikan BBM sehingga perekonomian nasional tetap terjaga dan terus tumbuh," ujarnya.

Penulis: Chaerul Umam/Hasanuddin A

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan