Virus Corona
Penimbunan Obat di Kalideres, Polisi Temukan 730 Boks Obat Terapi Covid-19 dan Parasetamol
Sebuah ruko di Jalan Peta Barat, tepatnya di Ruko Peta Barat Indah III Nomor C8, Kalideres, Jakarta Barat digerebek polisi
Penulis:
Rina Ayu Panca Rini
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebuah ruko di Jalan Peta Barat, tepatnya di Ruko Peta Barat Indah III Nomor C8, Kalideres, Jakarta Barat digerebek polisi karena diduga melakuan penimbunan obat.
Ruko yang dijadikan gudang obat tersebut sudah dipasangi garis polisi pada bagian pintu.
Beberapa obat yang berada di dalam tumpukan kardus itu juga telah disegel. Obat yang diduga hasil penimbunan berada di lantai dasar ruko.
Baca juga: Jadwal Acara TV Hari Ini, Rabu 14 Juli 2021: London Has Fallen di TRANS TV, Mata Najwa di Trans7
Sementara pada lantai dua dan tiga ruko tidak ada aktivitas dimana lampu yang ada di kedua lantai mati. Seorang pedagang kopi keliling di lokasi, Inem (52) mengatakan penyegelan sudah dilakukan beberapa hari lalu.
"Kalau enggak malam Jumat, malam Sabtu, saya lupa," ujarnya, Selasa(13/7) dinihari.
Inem mengaku tidak tahu persis kegiatan yang dilakukan di pabrik obat tersebut. Namun dari informasi yang diperoleh orang-orang di sekitar sana, ruko itu dijadikan sebagai pabrik obat.
Baca juga: 33 RT di Wilayah Jakarta Pusat Masuk Zona Merah Covid-19, Pemkot Terapkan Mikro Lockdown
"Saya pernah tanya itu pabrik apa, ternyata pabrik obat," jelasnya.
Apalagi Inem merasa tak pernah bertemu dengan karyawan gudang obat itu karena mereka pulang pada sore hari. Alhasil Inem yang mulai jualan setelahnya, tidak tahu dengan aktivitas ruko.
"Saya nggak pernah ketemu karyawannya soalnya pulang jam 16.00, sedangkan saya ke sini mulai jualan jam 17.00," tuturnya.
Polres Metro Jakarta Barat saat ini tengah melakukan pemeriksaan mendalam terkait dugaan penimbunan obat yang dilakukan PT. ASA di sebuah gudang di Ruko Peta Barat Indah III Nomor C8, Kalideres, Jakarta Barat.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat Kompol Joko Dwi Harsono mengatakan, pihaknya telah memanggil 5 orang yang berstatus sebagai saksi dalam perkara ini.
Baca juga: Ketua DPD RI Minta Polisi Terus Usut Pelaku Penimbun Obat Covid-19
"Sudah 5 saksi yang diundang, yang diperiksa hari ini, satu orang customer tadi," kata Joko.
Kendati begitu, Joko tidak menyebutkan identitas rinci dari saksi yang diyakini sebagai customer itu.
Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pol Ady Wibowo menyebut, sebelumnya kepolisian juga memanggil tiga orang yang bekerja di PT. ASA tersebut.
Beberapa di antara mereka merupakan pejabat dari perusahaan itu, termasuk Direktur hingga kepala Gudang.
"Polisi kini sudah meminta keterangan ketiga orang saksi, pertama YP (58) sebagai Direktur, MA (32) sebagai Apoteker, dan E (47) sebagai Kepala Gudang," tutur Ady.
Atas dasar itu, Ady menyatakan saat ini pihaknya masih terus melakukan pemeriksaan mendalam terhadap pihak yang dipanggil itu. Pemeriksaan itu dirasa perlu, guna mengungkap adanya tersangka dalam dugaan penimbunan obat yang dilakukan PT. ASA ini.
"Untuk ini (penetapan tersangka) sedang kita kembangkan, kita sedang menanyakan, meminta keterangan ke beberapa pihak terkait hal ini nanti akan kita sampaikan hasil penyelidikan kami pada saat kami meningkatkannya sebagai penyidikan dan menetapkan beberapa tersangka," kata Ady.
Kombes Ady Wibowo juga mengatakan, perusahaan sempat mencoba membohongi Badan POM.
"Adanya surat dari BPOM tanggal 7 Juli 2021 yang untuk melaksanakan zoom meeting untuk menanyakan apakah ada stok jenis obat Azithromycin 500mg. Tapi disampaikan oleh yang bersangkutan (PT ASA) bahwa stok itu belum ada," tutur Ady.
Berdasarkan pengakuan dari salah satu apoteker ada perintah untuk tidak menjual Azithromycin. Diketahui, Azithromycin merupakan salah satu obat yang bisa digunakan untuk pemulihan pasien Covid-19.
"Salah satu apoteker yang menjelaskan bahwa jenis obat Azithromycin 500mg, ada percakapan dari pemilik PT ya, dari pemilik PT itu untuk tidak dijual dulu artinya ada indikasi untuk ditimbun," jelas Ady.
Dari gudang tersebut ditemukan sejumlah barang bukti. Beberapa barang bukti tersebut di antaranya; Azithromycin 500 mg sebanyak 730 box, Paracetamol dan lain-lain.
"Kami melihat di sini bahwa fakta-fakta yang ditemukan di lapangan ada upaya-upaya untuk menaikan harga dari harga eceran tertinggi," ujar Ady.
Upaya Pencegahan
Terpisah, Ketua Komisi III DPR RI, Herman Herry meminta Kabareskrim Polri untuk menginstruksikan kepada para anggotanya di seluruh tanah air, dalam upaya pencegahan adanya penimbunan obat dan alat kesehatan di tengah situasi pandemi seperti ini. Mengingat, saat ini masyarakat banyak yang membutuhkan barang tersebut.
Sementara di pasaran, baik obat maupun beberapa alat kesehatan seperti tabung oksigen sedang mengalami kelangkaan.
"Saya berharap Polri melalui Kabareskrim Polri menginstruksikan anggotanya di seluruh Tanah Air untuk memberi perhatian pada ketersediaan obat terapi Covid-19 serta alat kesehatan yang dibutuhkan masyarakat," kata Herman
Menurut Herman, tindakan hukum yang tegas harus dilakukan kepada siapapun yang mencoba memanfaatkan situasi saat pandemi, demi keuntungan pribadi. Belum lagi seperti sekarang ini, mengingat pasien Covid-19 di Indonesia yang terus bertambah akhir-akhir ini.
Oleh karena itu, menurut Herman, semakin banyak orang yang terpapar dan itu berarti kian banyak pula orang yang membutuhkan obat-obatan juga alat kesehatan untuk mendukung kesembuhan mereka.
"Di saat seperti ini, ada saja pihak yang mau mereguk keuntungan dengan menimbun obat-obatan serta alat kesehatan hingga harganya melonjak dan sulit diakses masyarakat kelas ekonomi bawah. Saya berharap pihak kepolisian melakukan tindakan hukum tegas kepada para mafia tersebut," ucap politikus PDI Perjuangan itu.
Untuk itu, Herman berharap Bareskrim Mabes Polri dan Polda di seluruh Indonesia turut bergerak melakukan penindakan hukum kepada pihak-pihak yang disinyalir melakukan penimbunan.
Jangan Diborong
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengimbau bagi masyarakat maupun perusahaan agar tidak menyimpan obat-obat terapi covid-19 di rumah atau memborongnya.
"Jadi kalau kita stoknya di rumah, saya mengerti itu memberikan rasa nyaman tapi itu mengurangi kans satu orang yang membutuhkan untuk mendapatkan akses obat dan itu bisa mengakibatkan seorang pasien meninggal," ujar Budi.
Ia menegaskan, penggunaan obat-obat tersebut tentunya harus berdasarkan resep dokter dan diharapkan hanya diberikan kepada mereka yang sakit dan benar-benar membutuhkan.
"Jadi saya melihat banyak juga perusahaan-perusahaan beli niatnya baik, supaya nanti kalau karyawannya ada apa-apa sudah siap paket obatnya. Tetapi yang perlu dipahami adalah akibatnya, itu menutup kesempatan orang-orang yang sangat membutuhkan sekarang untuk dapat akses itu," harap Menkes.
Budi memahami, ada rasa kekhawatirkan masyarakat jika jatuh sakit sehingga mempersiapkan diri dengan membeli obat-obat yang dibutuhkan.
"Biarkan mekanisme secara medis berlaku. Ini bukan untuk disimpan dicadangan untuk rasa aman, ini bahaya. Nanti obatnya habis, kita benar-benar membutuhkan obat dengan resep dokter yang dibelikan Rumah Sakit kepada orang-orang yang sudah sakit dan membutuhkan," jelas Budi.
Mantan wamen BUMN ini mengatakan, stok obat terapi COVID-19 dan multivitamin kini relatif cukup. Meski ada sejumlah obat yang harus diimpor.
"Kita ada masalah didistribusi, saya sudah temui satu per satu tolong bantu. Kita tidak akan membuat teman-teman rugi. Kita akan mengurangi keuntungan teman-teman ya betul tapi tolong bantu kita, agar bisa mendapat akses obat dengan harga yang wajar. Jadi saya sudah panggil industri player itu satu per satu," terang Menkes Budi.
Kepala BPOM RI, Penny Lukito dalam siaran pers saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR mengatakan berdasarkan Undang-undang Kesehatan dan aturan cara distribusi obat yang baik, pedagang besar farmasi diketahui memang punya wewenang untuk menumpuk obat terlebih dahulu sebelum didistribusikan ke pasaran.
“PBF punya kewenangan untuk menumpuk dulu, menumpuk dulu dalam arti adalah menunggu ada order. Jadi tidak otomatis semua obat disebarkan begitu saja, jadi ada tata aturan dalam distribusi obat tentunya,” ujar Penny.
Penny menegaskan, penumpukan tersebut diketahui oleh BPOM karena bersifat transparan melalui laporan.
“Itu terbaca karena mereka (PBF) melaporkannya pada BPOM. Dari data ini bisa dipakai misalnya, untuk menarik obat dari daerah-daerah lain ke zona merah,” kata Penny.
Soal adanya kecurigaan terjadinya penimbunan obat secara ilegal di beberapa titik distribusi, Penny mengungkapkan dari hasil pengawasan dan inspeksi yang dilakukan oleh BPOM, belum ada indikasi terjadinya penimbunan obat ilegal.
“Berdasarkan hasil inspeksi instalasi resmi distribusi obat PBF, belum ada indikasi penimbunan yang ilegal. Sebab itu sesuai dengan CDOB (cara distribusi obat yang baik), ada alasan-alasan lain yang bisa dijelaskan dengan observasi, contohnya harga dan sebagainya yang mana di luar Badan POM,” kata Penny.(Tribun Network/jun/mam/rin/wly)