Sabtu, 13 September 2025

Seleksi Hakim Agung

Calon Hakim Agung Brigjen Slamet Sarwo Dicecar Soal Sidang Militer Pertempuran Hingga Eksekusi Mati

Calon Hakim Agung Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy ditanya terkait mekanisme sidang hingga eksekusi mati dalam sidang militer pertempuran.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
Tangkap Layar: Kanal Youtube Komisi Yudisial
Calon Hakim Agung Kamar Pidana Militer yang saat ini menjabat sebagai Anggota Pokkimiltama Mahkamah Agung Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy (kanan) dan Anggota Komisi Yudisial Joko Sasmito (kiri) dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Kamar Pidana Militer yang saat ini menjabat sebagai Anggota Pokkimiltama Mahkamah Agung Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy ditanya terkait mekanisme sidang hingga eksekusi mati dalam sidang militer pertempuran.

Anggota Komisi Yudisial Joko Sasmito awalnya meminta Slamet menjelaskan komposisi sidang pengadilan militer pertempuran dan dasar hukumnya.

Slamet kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang 31 tahun 1997 tentang peradilan militer bahwa peradilan militer pertempuran adalah sebuah peradilan tingkat pertama dan terakhir.

Peradilan militer pertempuran, kata dia, digelar di daerah yang telah dinyatakan sebagai wilayah pertempuran.

Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021).

"Hakimnya di dalam Undang-Undang 31 itu disebutkan adalah selalu ganjil. Boleh tiga, boleh lima, yang jelas ganjil. Susunan hakim-hakimnya memang kalau tidak salah di situ ditentukan sudah, paling tinggi berpangkat mayor, kalau tidak salah, sebagai komposisi hakimnya. Yang jelas itu ganjil dalam Undang-Undang 31," kata Slamet.

Joko kemudian mengatakan jawaban Slamet terkait komposisi hakim tersebut sudah betul.

Namun demikian ia meminta Slamet membaca lagi terkait jenjang kepangkatan hakim dalam sidang militer pertempuran.

Ia menjelaskan pangkatnya ketua majelisnya paling rendah berpangkat Letnan Kolonel dan untuk Oditur bisa berpangkat Mayor.

Calon Hakim Agung Kamar Pidana Militer Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy (kanan) dan Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai (kiri) dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021).
Calon Hakim Agung Kamar Pidana Militer Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy (kanan) dan Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai (kiri) dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021). (Tangkapan Layar: Kanal Youtube Komisi Yudisial)

Joko kemudian melanjutkan memberikan simulasi apabila di daerah pertempuran tersebut pangkat terdakwa lebih tinggi daripada hakim.

Joko lalu meminta Slamet menjelaskan komposisi hakim dalam situasi tersebut.

Menurut Slamet untuk ketentuan pangkat dalam peradilan pertempuran juga berlaku ketentuan pangkat di luar pertempuran meskipun pangkatnya dimungkinkan lebih rendah.

Selain itu, seluruh hukum acaranya juga berlaku hukum acara yang berlaku pada umumnya yaitu Undang-Undang 31 tahun 1997.

Dengan demikian, kata dia, maka hakimnya harus lebih tinggi pangkatnya dari terdakwa sebagaimana ketentuan umum yang berlaku.

"Jadi kalau tidak ada di dalam pertempuran itu tidak ada hakim militer yang ditugaskan di sana yang pangkatnya, misalnya pangkat terdakwanya adalah Letkol berarti harus dinaikkan pangkat hakimnya lebih tinggi dari pangkat terdakwa. Saya kira itu berlaku ketentuan umum," kata Slamet.

Joko kemudian meminta Slamet membaca lagi ketentuan tersebut apakah di dalamnya membolehkan untuk pangkat setingkat atau tidak.

Joko lalu bertanya bagaimana solusinya apabila terdakwa dalam sidang militer pertempuran merupakan Perwira Tinggi sementara hakim yang tersedia hanya berpangkat Perwira Menengah.

Menurut Slamet, apabila terjadi situasi tersebut maka Kadilmilti harus mengajukan kepada Panglima TNI untuk menaikkan pangkat hakim yang ada di wilayah tersebut lebih tinggi setingkat dari terdakwa.

"Sudah diatur dalam Undang-Undang 31, sudah ada ketentuannya itu. Pangkat lokal istilahnya," kata Slamet.

Baca juga: Calon Hakim Agung Yohanes Dicecar Vonisnya yang Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa Atas Kasus Korupsi

Joko membenarkan jawaban tersebut.

Ia kemudian beralih ke pertanyaan terkait eksekusi mati pada pengadilan militer pertempuran.

Joko bertanya apakah terdakwa yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer pertempuran bisa langsung dieksekusi saat itu juga.

Slamet kemudian menjawab terdakwa bisa mengajukan kasasi di pengadilan itu juga mengingat pengadilan militer merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir.

Ia pun mengatakan bagaimanapun hukum acara tetap harus dijalankan.

Joko kemudian bertanya lagi, apabila sudah dilakukan upaya kasasi terhadap vonis mati tersebut namun justru vonis dikuatkan di tingkat tersebut apakah pidana mati tersebut bisa langsung dieksekusi.

Slamet menjelaskan bahwa sebetulnya eksekusi merupakan kewenangan Oditur.

"Jadi setelah upaya hukum itu selesai. Hanya praktiknya yang saya lihat, pidana mati ini kan tidak langsung. Saya tidak mengerti kenapa tidak langsung. Karena mungkin masih ada dikasih kesempatan untuk upaya-upaya hukum lainnya di luar upaya hukum biasa. Ada upaya hukum Peninjauan Kembali juga di situ. Jadi tidak langsung dieksekusi," kata dia.

Baca juga: Calon Hakim Agung Brigjen Slamet Sarwo Edy Ditanya Soal Tingginya Kasus Narkotika di Lingkungan TNI 

Joko kemudian meminta Slamet membaca lagi ketentuan pasal 207 dalam UU 31 di mana disebutkan itu masih ada upaya lain yakni harus menunggu keputusan presiden tentang pengajuan grasi.

Joko kemudian menanyakan Slamet dalam situasi apa pengadilan militer pertempuran bisa digelar.

Menurut Slamet, pengadilan militer pertempuran diperlukan apabila negara dalam situasi berperang dengan negara lain atau ada wilayah bagian negara yang dinyatakan sebagai daerah perang.

Saat itulah pengadilan militer pertempuran harus digelar untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran dalam peperangan.

Namun demikian meski dibutuhkan, kata dia, hingga saat ini faktanya pengadilan militer pertempuran belum pernah digelar di Indonesia

Ia mencontohkan, ketika Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer tidak ada pengadilan militer pertempuran yang digelar.

"Karena untuk peradilan pertempuran harus dinyatakan oleh Presiden sebagai wilayah bertempur dengan negara lain, jadi itu hanya sebagai konflik intern dalam negara saja. Jadi belum ada peradilan pertempuran di Aceh itu," kata dia.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan