Amandemen UUD 1945
Pengamat: Pimpinan MPR Harus Bisa Yakinkan Publik Amandemen UUD 1945 Bebas Dari Penumpang Gelap
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan pimpinan lainnya harus menyakinkan masyarakat bahwa tidak ada penumpang gelap dalam amandemen UUD 1945
Editor:
Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) memiliki pekerjaan rumah yang besar terkait wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pengamat Parlemen, Sebastian salang mengatakan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan pimpinan lainnya harus menyakinkan masyarakat bahwa tidak ada penumpang gelap dalam penyusunan amandemen konstitusi dalam menghadirkan kembali kewenangan MPR RI dalam menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Publik ini butuh keyakinan, memang dari proses pembuatan amandemen ini tidak ada penumpang gelap yang mencoba bermain di tikungan lalu membuka kotak pandora," ujar mantan Ketua Formappi itu dalam webinar ‘PPHN Memperkuat Konsensus Sistem Presidensial’ yang digelar Tribun Network, Selasa (16/11/2021).
"Itu sebenarnya kekhawatiran publik yang saya cermati. Respon yang ada saat ini," ucap Sebastian.
Baca juga: Bamsoet: Kehadiran PPHN Perkuat Sistem Presidensil
Selain itu, lanjut Sebastian, pimpinan MPR harus menyusun gagasan, ide dan konsep terkait amandemen terbatas UUD 1945.
"Lalu membangun narasi yang betul-betul bisa clear di publik bahwa ini tujuannya untuk menentukan arah pembangunan jangka panjang atau masa depan dari bangsa ini," jelasnya.
Jika narasi itu gagal tersampaikan dengan baik ke publik, maka itu hanya akan menimbulkan banyak spekulasi dan persepsi negatif.
"Akan menimbulkan spekulasi dan banyak persepsi, yang akan membuat opininya semakin melebar. Nah, ini yang kemudian berbahaya," ucapnya.

Di acara yang sama, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menambahkan ada tantangan besar yang harus dihadapi dalam penyusunan haluan negara.
Satu di antaranya adalah efektifitas dan akurasi haluan negara dan rencana jangka panjang mengingat disrupsi teknologi perubahan yang makin cepat, baik ditingkat global maupun domistik.
“Kita sendiri menghadapi tiga tantangan perubahan besar di domestik yaitu, globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi. ketiga perubahan ini belum sepenuhnya kita pahami, kita masih mencari fomula untuk menghadapi ketiga perubahan besar tersebut, itulah tantangan yang harus dihadapi,” katanya.
Baca juga: Menteri PPN Suharso Monoarfa Pastikan PPHN Tak Batasi Kreativitas Capres
Sementara itu Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan kalau PPHN diperlukan bangsa Indonesia, hal ini penting mengintegrasikan pusat dan daerah.
“PPHN suatu yang diperlukan di untuk menuju Indonesia emas tahun 2045, mengingat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasinoal (RPJPN) akan berakhir ditahun 2024 ini,” jelasnya.
Ia menjelaskan, tahun 2025 menuju 2045 harus ada naskah PPHN, harus ada perencanaan pembangunan sosial, ekonomi, politik budaya dan pendidikan yang akan berubah akibat disrupsi teknologi
“PPHN itu suatu yang diperlukan bangsa ini, dan tidak menggangu sistem presidensial, PPHN itu sebuah perencaan terpadu, jadi jangan dikaitkan dengan pelemahan sistem presidensial,” tukasnya.
Baca juga: Ketua MPR Bamsoet Urai 12 Alasan Perlunya PPHN Pengganti GBHN, MPR Bukan Lembaga Tertinggi Negara
Tiga Isu yang Ganggu Proses Amandemen Terbatas UUD 1945
Jimly Asshiddiqie mengatakan ada tiga isu yang sebenarnya mengganggu jalannya proses amandemen terbatas UUD 1945.
Selama wacana amandemen terbatas UUD 1945 digaungkan, muncul sejumlah isu yang beredar di masyarakat bahwa agenda ini dilakukan demi mengakomodir kepentingan politik pihak-pihak tertentu.
"Yang jadi masalah sekarang apa mungkin kita melakukan perubahan ini? Saya melihat ada pelebaran isu, dari sebelah kanan ada isu 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden 2-3 tahun," jelas Jimly
"Kemudian sebelah kiri muncul isu presidential threshold 0 persen menjelang 2024, atau isu calon independen karena ada agenda yang menunggangi," ujar Jimly.
Baca juga: Jangan Fobia GBHN Buatan Orde Baru, Jimly dan Bamsoet Senada: PPHN Memperkuat Sistem Presidensil
Jimly merasa isu-isu ini mengganggu proses jalannya amandemen terbatas untuk mewujudkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Apalagi dalam waktu dekat perubahan UUD ini sudah harus diputuskan, tepatnya pada tahun 2023 awal.
"Karena PPHN-nya harus sudah ditetapkan awal tahun 2024 untuk merumuskan PPHN periode 2025-2045 menuju Indonesia Emas," kata dia.
Oleh karenanya, Jimly mengaku pesimis PPHN bakal selesai sebelum 2025 mendatang, saat masa Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) berakhir.
"Kalau inisiatifnya tidak selesai tahun 2021 atau tahun depan, semakin dekat dengan Pemilu saya punya keyakinan isu perubahan yang dikaitkan dengan calon independen, threshold, 3 periode ini akan menghambat. Saya pesimis kemungkinan terjadinya perubahan ini," ucapnya.(*)