Jumat, 22 Agustus 2025

BNPT : Mereka yang Wacanakan Pembubaran Densus 88 Mungkin Kelompok Paham Radikal atau Simpatisan

Wacana pembubaran lembaga penegak hukum yang bertugas mengurusi tindak pidana terorisme itu sangatlah tidak masuk akal.

ISTIMEWA
Logo Tim Densus 88 Antiteror. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigardir Jenderal Polisi Ahmad Nurwahid menyatakan wacana pembubaran lembaga penegak hukum yang bertugas mengurusi tindak pidana terorisme itu sangatlah tidak masuk akal. 

Nantinya bagaimana? Apakah akan menjadi anak negara?
Makanya BNPT itu punya mitra dan kepanjangan tangan di masing-masing provinsi, 34 provinsi untuk
tahun ini. Disitu dalam kontra radikalisasi moderasi berbangsa moderasi beragama tadi, FKPT tadi
melakukan kegiatan lima bidang, bidang agama sosial budaya, bidang pemberdayaan perempuan dan
anak, bidang pemuda dan pendidikan, bidang media serta riset dan penelitian. Kita juga bermitra dengan
yayasan-yayasan, komunitas, itu anak-anak tadi kita tampung disitu.

Pelaku pengeboman di Surabaya telah meninggal, dan anak-anaknya yang diajak aksi tersebut
melihat. Bagaimana kondisi mereka?
Alhamdulillah sudah sadar. Lama itu untuk memulihkan. Karena traumanya tiga hal. Trauma masalah ideologi, trauma melihat orang tuanya meninggal, dan trauma peristiwa kejadian itu. Sehingga kita juga
bekerjasama dengan KPAI.

Densus 88 Antiteror Mabes Polri menggeledah kantor Yayasan Ishlahul Umat Lampung di Pekon Klaten, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, Kamis (4/11/2021).
Densus 88 Antiteror Mabes Polri menggeledah kantor Yayasan Ishlahul Umat Lampung di Pekon Klaten, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, Kamis (4/11/2021). (Tribunlampung.co.id / Robertus Didik)

Sepanjang yang Anda ketahui, mereka dalam kondisi baik-baik saja secara mental ideologi?
Macam-macam, ada yang memang sudah terpapar, sudah keras, yang sampai mau diajak jadi bomber
di Surabaya itu sudah parah. Itu kalau disuruh milih antara mati atau hidup ditahan dikelola oleh negara,
milih mati. Ada yang masih OTG ya. Tetapi ada juga yang ikut-ikutan, masih ada juga.

Jadi klasifikasinya macam-macam ya?
Makanya kita kalau untuk mereka yang di bawah umur kita selalu kolaborasi dengan KPAI, kolaborasi
dengan yayasan atuapun NGO-NGO di bidang pemerhati anak dan perempuan, kemudian baru untuk
dilakukan pembinaan atau rehabilitasi psikologi, baru setelah itu rehabilitasi ideologi. Tidak bisa
langsung ke ideologi karena masih anak, masih trauma.

Siapa saja mantan-mantan combatan atau mantan teroris yang banyak membantu deradikalisasi
termasuk mencegah orang menjadi teroris?
Ada Amir Mahmud itu termasuk angkatan pertama akmil atau akademi militernya Afghanistan, itu
banyak membantu juga. Kemudian, ya Ali Imron itu banyak membantu, kemudian ada juga Sofan Sauri.

Yang bekas polisi?
Iya bekas polisi, itu sangat-sangat militan di dalam membantu kita. Kemudian ada Romli atau Rembo itu
Remli, juga membantu. Kemudian juga ada dari Aceh itu Yudi Zulkarnaen.

Beberapa waktu yang lalu sempat ribut soal wacana pembubaran Densus 88. Menurut Anda
munculnya wacana atau desakan itu bagaimana?
Nggak masuk akal. Mereka yang mewacanakan bubarkan BNPT, bubarkan Densus dan sebagainya itu
hanya dua kemungkinan. Kalau mereka tidak terpapar paham radikal atau kelompok paham radikal,
mereka adalah simpatisan. Karena jelas, ancaman radikalisme itu di Indonesia riil 12,2 persen. Ancaman
terorismenya riil 15.000 sampai 17.000.

Jadi bukan kaleng-kaleng dan bukan ngarang-ngarang ya?
Bukan kaleng-kaleng. 12,2 persen itu dari jumlah penduduk Indonesia 33 juta lho Suriah itu jumlah
penduduknya cuma 20 juta, mereka yang masuk indeks potensi radikalisme mungkin nggak sampai 10
persen atau mungkin nggak sampai 5 persen. Karena polanya sama, sebelum terjadinya konflik, itu
selalu didahului oleh masif dan maraknya radikalisme terorisme mengatasnamakan agama, dalam
konteks ini Islam.
Kolaborasi dengan pihak yang anti pemerintahan dan terjadi intervensi asing. Itu polanya sama kayak di
Suriah, di Afghanistan di Libya, di Irak, di Yaman, di Nigeria, Somalia, dan pola itu sudah copy-paste di
Indonesia paling tidak tahun 2011. Sehingga perlu saya ingatkan kepada masyarakat, bangsa kita ini
puncak indeks potensi radikalisme itu di tahun 2017. Itu di angka kalau sekarang 0 sampai 100, itu di
angka 55,2. Bayangkan 55,2.
Kemudian Alhamdulilah begitu tahun 2018, ada Undang-Undang No. 5 tahun 2018 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme yang memungkinkan untuk melakukan preventive strike atau
preventive justice itu di tahun 2019 turun di angka 38. Nah kemudian Alhamdulilah lagi trend itu turun di
2020, yang mungkin salah satunya berkah Covid. Yaitu dari angka 38 turun menjadi 12,2. Ada
berkahnya Covid-19 makanya kita harus banyak bersyukur. Jadi di balik wabah dan musibah ada
hikmah. Konten-konten keagamaan intoleran radikal itu kan 67,7 persen lebih mendominasi dunia maya.

Logo Tim Densus 88 Antiteror
Logo Tim Densus 88 Antiteror (ISTIMEWA)

Nah konten-konten keagamaan ini kan otomatis kan karena oknum, tokoh agama, ustad. Begitu ada
Covid-19, ustad, ulama, tokoh agama yang tadinya diam tidak pernah menggunakan dunia maya,
akhirnya dia menggunakan teknologi untuk syiar, untuk dakwah. Nah ustad-ustad yang selama ini diam
tadi, mayoritas, silent majority tapi ini sekarang menjadi bangkit dengna menggunakan dunia maya
sehingga cukup mengimbangi atau mendekati lah, konten-konten yang radikal.
Dan tentunya ya alhamdullilah, mungkin resonansi kita ya, kita menggelorakan bagaimana membangun
harmoni bangsa dan melibatkan segenap lembaga ataupun stakeholder terkait segenap elemen
masyarakat, bangsa dan negara. Dan, bangsa ini hebat. Bangsa ini hebat, indikasi untuk konflik sudah
sangat besar. Sangat besar. Indonesia itu negeri yang memiliki heterogenitas paling tinggi di dunia.
Potensi konfliknya luar biasa, tetapi kenapa Indonesia masih aman? Pertama, Indonesia punya
Pancasila, ya kan yang mempersatukan heterogenitas ataupun kemajemukan tadi. Kedua, kita punya
kearifan lokal, silahturahmi dan gotong royong. Yang ketiga, kita memiliki civil society moderat yang
kuat, yang siap berjibaku, seperti NU, Muhammadiyah dan sebagainya.

Kita punya TNI Polri yang solid, tapi yang paling utama ya itu, para ulama yang kami temui di negara-
negara muslim, beliau mengatakan Indonesia itu sepotong tanah dari surga, sehingga dijaga oleh para

wali-walinya Allah sehingga aman kita ini. Cuma tidak cukup aman kan untuk membangun supaya
bangsa ini menjadi aman, damai dan maju, guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional termasuk
program Indonesia emas 2045 maka satu yang harus dibenahi, stabilitas.
Nah stabilitas di sini menyangkut stabilitas ideologi, karena radikalisme itu akarnya adalah ideologi.
Maka ideologi negara Pancasila yang mempersatukan bangsa ini harus di-protect dengan adanya
regulasi yang melarang semua ideologi transnasional ataupun ideologi yang bertentangan dengan
ideologi negara.

Harus bikin satu regulasi untuk melarang itu?
Coba tunjukkan kepada saya negara maju yang masyarakatnya masih berkutat atau berdebat atau
masih mempertentangkan ideologi negara? Nggak ada. Nah kita sudah ada konsensus nasional tapi
tidak diprotect, undang-undang anti subversif yang dinilai ketika jaman Orba diterapkan secara represif
malah dicabut. Yang dilarang cuma komunisme, marxisme, lenin ismed, ini kan ekstrim kiri. Ekstrim
kanan dan ekstrim lainnya belum ada. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan