Partai Gerindra dan Prabowo Diprediksi Jadi Sumbu Utama Arah Koalisi Partai Politik Jelang 2024
Partai Gerindra dan Prabowo Subianto diprediksi menjadi salah satu sumbu utama penentu arah koalisi partai politik menjelang Pemilu tahun 2024.
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim mengatakan, Partai Gerindra dan Prabowo Subianto menjadi salah satu sumbu utama penentu arah koalisi partai politik menjelang Pemilu tahun 2024.
"Partai Gerindra dan Prabowo Subianto akan menjadi salah satu tonggak sumbu utama penentu arah koalisi partai politik jelang Pemilu 2024," kata Abdul Hakim dalam keterangannya, Senin (18/7/2022) kemarin.
Seperti diketahui, meski masih 20 bulan lagi digelar, Pilpres 2024 sudah menjadi topik panas sejak hari ini.
Adanya aturan ambang batas 20 persen [Presidential Threshold/PT 20 persen ] bagi partai politik untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden, membuat 9 parpol berkursi di DPR RI sudah mulai bermanuver sejak dini.
Berbagai penjajagan koalisi dini sudah mengemuka. Sebut saja ada koalisi partai Golkar, PAN, dan PPP yang berlabel KIB.
Ada juga penjajagan koalisi antara Partai Gerindra dan PKB dengan slogan “Kebangkitan Indonesia Raya”.
Ada pula koalisi prematur yang coba digalang PKS dengan stempel “Semut Merah”.
Baca juga: Koalisi Partai Lebih Awal Dinilai Jadi Kesempatan Rebut Suara Swing Voters
Penjajakan koalisi permulaan parpol-parpol ini tak lain dilakukan sebagai upaya agar syarat 20 persen kursi DPR RI bisa terpenuhi guna mengusung kandidat calon presiden.
Saat ini, dari 9 parpol berkursi di DPR RI, jika terdistribusi secara proporsional untuk mendapatkan angka 20 persen kursi, maka maksimal akan memunculkan empat kelompok koalisi.

PDIP yang memiliki 22.3 persen kursi, tidak perlu mencari pasangan koalisi. Sementara Partai Gerindra dan Partai Golkar yang memiliki 13.6 % dan 14.8 % kursi, hanya perlu mencari satu teman koalisi, selain dengan PPP.
Untuk Nasdem dan PKB yang masing-masing memiliki 10.3 % dan 10.1 % kursi, seandainya mereka berkoalisi sudah mencukupi.
Sisanya, Partai Demokrat yang memiliki 9.4 % kursi, PKS 8.7 % kursi, PAN 7.7 % kursi, dan PPP 3.3 % kursi, masih memungkinkan untuk membentuk satu koalisi lagi.
Terkait Gerindra dan Prabowo yang bakal jadi sumbu poros koalisi, menurutnya, hal itu dapat terjadi karena Partai Gerindra dan Prabowo memenuhi tiga kriteria dalam membangun koalisi.
Ketiganya adalah elektabilitas calon presiden (capres), kemungkinan mendapatkan tiket atau boarding pass menjadi capres, serta tokoh capres yang dinilai mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Sementara, terkait kriteria pertama, lanjutnya, Prabowo Subianto yang memiliki elektabilitas paling tinggi di antara sejumlah nama capres, baik dari parpol maupun non-parpol, menjadi magnet tersendiri.
Selanjutnya, mengenai boarding pass, Hakim menilai Partai Gerindra, yang hanya butuh satu teman koalisi demi memenuhi aturan ambang batas 20 persen bagi parpol untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden, bakal mempengaruhi bentuk koalisi.
"Apakah Partai Gerindra hanya cukup puas dengan satu teman koalisi saja atau lebih dari satu teman koalisi? Situasi ini akan sangat berdampak pada konstelasi koalisi yang akan terbentuk ke depan," jelasnya.
PDIP Tak Pusingkan Koalisi
Saat ini, PDI Perjuangan sudah tidak terlalu memusingkan masalah koalisi. PDI Perjuangan sudah bisa mengirim satu paket Capres/Cawapres tanpa harus bekerjasama dengan parpol lain.
Baca juga: Survei LSN: Elektabilitas Prabowo Subianto Tertinggi, Disusul Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan
Artinya, PDI Perjuangan sudah tidak terlalu berkepentingan dengan koalisi.
Namun diluar PDIP, delapan parpol berkursi di DPR RI akan sangat berkepentingan untuk mengadakan kerjasama dalam mengusung Capres/Cawapres.
"Untuk itu, tidak terlalu berlebihan jika kemudian saya menyebut Partai Gerindra dan Prabowo Subianto akan jadi salah satu penentu sumbu utama terbentuknya peta koalisi parpol-parpol dalam menghadapi Pilpres 2024 mendatang."
Satu-satunya kendala yang ada di Prabowo Subianto saat ini adalah yang bersangkutan belum mengungkapkan diri apakah akan maju sebagai Capres atau tidak pada pemilu mendatang.
Survei LSI Denny JA: Netizen Memegang Peran Kunci untuk Pemenangan Pilpres 2024
Sementara itu, survei terbaru LSI Denny JA pada awal Juli 2022 menyebut suara komunitas digital alias netizen memiliki potensi besar mempengaruhi hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Kantong suara komunitas digital ini disandingkan dengan kantong suara besar lainnya yang sudah ada dan juga memiliki pengaruh dalam Pilpres, yakni kantong suara wong cilik dan kantong suara pemilih Islam.
Direktur CPA-LSI Denny JA, Ade Mulyana mengatakan hasil survei terbaru LSI Denny JA, saat ini pertama kalinya dalam sejarah, dua tahun menjelang Pilpres 2024, komunitas digital atau yang biasa disebut netizen ini jumlahnya sudah 50 persen lebih untuk pengguna Facebook.
Kemudian untuk pengguna WhatsApp dan WhatsApp grup mencapai 60 persen.
"Nah jadi dengan jumlah yang di atas 50 persen ini, maka kami kategorikan bahwa netizen ini merupakan kantong suara besar baru di samping kantong-kantong suara besar yang lama, misalnya, kita tahu kantong suara besar dari wong cilik dan juga pemilih muslim," kata Ade Mulyana dalam diskusi virtual XYZ+ bertajuk 'Netizen Menentukan Pemenang Pilpres 2024' yang digelar, Sabtu (16/7/2022).
Baca juga: Politikus Golkar: KIB Itu Kerja Sama Politik untuk Pilpres, Pileg, dan Pilkada
Dia menjelaskan bahwa untuk survei nasional ke depannya, pihaknya akan lebih concern untuk menggali lebih dalam dan mendetail data di lapangan mengenai potensi masing-masing pengguna platform media sosial, termasuk Instagram, YouTube, Twitter, dan TikTok.
Fenomena munculnya kantong suara baru yang potensial yakni komunitas digital sebagai penentu dalam pemilu juga terjadi di Filipina, di mana putra mantan diktator Ferdinand Marcos, yakni Ferdinand Marcos Jr berhasil memenangkan pemilu dan menjadi orang nomor satu di Filipina, berkat kampanye digital yang masif.
Menurut dia, ada dua kesamaan antara kondisi di Indonesia dan di Filipina.
Baca juga: Survei Indopol: Hasil Simulasi Empat Poros pada Pilpres 2024, Anies-AHY Raih Suara Tertinggi
Pertama, Filipina pada era pemerintahan Marcos boleh dibilang masa diktator.
Indonesia juga pernah mengalami masa Orde Baru, jaman Soeharto.
Kedua, mayoritas pemilih di Filipina itu berasal dari kalangan muda.
"Kemungkinan nanti juga sama di Indonesia pada 2024 di mana mayoritas pemilih kita juga adalah mereka yang berusia muda," kata Ade Mulyana.
Baca juga: Pengamat Sebut Sosok Cawapres Bisa Jadi Penentu Kemenangan di Pilpres 2024
Dengan kesamaan-kesamaan ini, dikatakan Ade Mulyana perlu khawatir karena memang ada semacam short-term memory dari pengguna media sosial bahwa mereka terkesan cepat lupa ingatan.
Menurutnya, meskipun masa lalu Marcos ini pernah jadi diktator, tetapi ketika putranya melakukan pencitraan di media sosial, dengan mungkin disrupsi informasi dan lain sebagainya.
Serta masyarakat pemilih muda, mereka ini tidak mengalami pada masa diktator berkuasa, sehingga mudah terpengaruh kampanye-kampanye di media sosial, meskipun itu hanya pencitraan.
"Ini memang jadi tantangan terbesar bagaimana nanti kita menghadapi Pilpres jika kita berkaca dari pengalaman Filipina yang baru saja memenangkan Marcos Jr," kata Ade Mulyana.