RUU KUHP
Respons Wamenkumham Sikapi Usulan Komisi III DPR Soal Pasal Rekayasa Kasus: Tidak Ada Masalah
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej merespons usulan Komisi III DPR RI soal pasal rekayasa kasus.
Penulis:
Naufal Lanten
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej merespons usulan Komisi III DPR RI soal pasal rekayasa kasus.
Dia membuka peluang usulan tersebut masuk ke dalam draft Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Kalau tadi mendengar dari apa yang disampaikan sepintas dari teman-teman dewan, ada minta untuk ditambahkan mengenai pasal rekayasa kasus, kami kira ya tidak ada masalah,” kata Edward Omar Sharif Hiariej selepas rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (9/11/2022).
Terkait usulan pasal tersebut, kata dia, pemerintah menunggu dan meminta penegasan serta penjelasan terkait tindak pidana rekayasa kasus, sehingga dapat dimasukan ke dalam draft RKUHP.
Dia pun optimis usulan-usulan yang disampikan Komisi III DPR RI dapat segera dituntaskan.
Baca juga: Komisi III DPR Usul Tambah Pasal Pidana Rekayasa Kasus di RKUHP
“Saya optimis kalau ada 9 item yang mereka teman-teman dewan usulkan, saya kira sehari selesai,” katanya.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengusulkan untuk menambah pasal pidana terkait rekayasa kasus.
Ia menjelaskan, pasal ini nantinya akan mengatur ancaman pidana jika ada sejumlah pihak hingga penegak hukum yang merekayasa kasus dengan menciptakan, membuat atau memalsukan alat bukti.
“Karena adanya pengaduan-pengaduan kepada Komisi III bahwa seseorang sebenarnya tidak melakukan atau berbuat kejahatan atau tidak pidana, namun dituduh melakukan kejahatan dengan alat-alat bukti yang difabrikasi atau diciptakan,” kata Arsul Sani.
Baca juga: Komisi III DPR Bakal Rapat dengan Menkumham Hari Ini, RKUHP Segera Disahkan?
“Utamanya dengan cara menaruh di tempat kejadian perkara (TKP) atau istilahnya alat buktinya merupakan fabricated evidence. Yang sering terdengar misalnya dalam kasus narkoba,” lanjut dia.
Wakil Ketua Umum PPP ini menyebutkan hingga saat ini, tidak ada tindak pidana yang bisa dikenakan kepada penegak hukum seandainya melakukan rekayasa kasus.
Sebab, lanjutnya, tidak ada pasal pidana yang secara spesifik mengatur hal tersebut.
Arsul Sani sendiri mendapat masukan dari sejumlah elemen masyarakat sipil sebagai berikut.
Pertama, setiap orang yang memalsukan bukti-bukti, atau membuat bukti-bukti palsu yang dimaksudkan untuk dipergunakan dalam proses peradilan diancam karena pemalsuan bukti dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori V.
Kedua, dalam hal perbuatan pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat dalam proses peradilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Baca juga: Mahasiswa Tanya soal Pasangan Belum Menikah Check-In di Hotel dalam RKUHP, Ini Jawaban Wamenkumham
Ketiga, apabila perbuatan sebagaimana ayat (2) dilakukan dengan tujuan agar seseorang yang seharusnya tidak bersalah menjadi dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan atau dengan maksud agar seseorang yang akan diadili dalam proses peradilan pidana mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
“Jika KUHP kita kedepan mengatur soal rekayasa alat bukti atau kasus, maka ini juga akan berkontribusi dalam perbaikan penegakan hukum dan mentalitas penegak hukum kita,” ujarnya.
Senada, Anggota Komisi III Taufik Basari menyetujui usulan tambahan pasal tindak pidana rekayasa kasus.
Menurutnya, pasal rekaya kasus ini dapat difokuskan kepada fabricated evidence terkait kasus narkotika.
“Setuju dengan pak Arsul soal rekayasa kasus ini difokuskan ke fabricated evidence di mana ketika ada setiap orang yang buat bukti palsu untuk proses peradilan maka itu rekayasa kasus untuk bisa dipidana,” tuturnya.
Dia pun mengusulkan agar aturan terkait narkotika dikeluarkan dari draft RUU KUHP Pasal 611.
Hal itu agar pembahasannya dapat dilakukan lebih komprehensif.
“Kan semangatnya kebijakan narkotik bukan hanya soal pemidaaan tapi ada soal kesehatan, kaitannya dengan pidana harus sama. Maka usulan saya khusus untuk narkotika tpmnya diatur dalam RUU Narkotika.”
“Maka usulan saya khusus untuk narkotika diatur dalam RUU Narkotika,” kata Tobas, sapaan akrabnya.