Selasa, 9 September 2025

RKUHP Bakal Disahkan, Pengamat Tata Hukum Negara: Kerusakan Negara Hukum dan Demokrasi

Pengamat Tata Hukum Negara Bivitri Susanti turut menyoroti soal rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
Pengamat Tata Hukum Negara Bivitri Susanti saat diskusi bersama KedaiKopi 'Ngopi dari Seberang Istana' dengan tema Menelisik Zona Nyaman Jokowi, di Amaris Hotel, Juanda, Jakarta, Minggu (4/12/2022). 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Tata Hukum Negara Bivitri Susanti turut menyoroti soal rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang bakal diketok tingkat dua oleh DPR RI pada Selasa (6/12/2022).

Bivitri menyebut, dalam beleid tersebut di dalamnya masih ada beberapa ketentuan atau pasal yang dinilai merugikan masyarakat. 

"RKUHP, apa yang bisa kita harapkan dengan KUHP selasa besok yang bakal diketok tingkat dua, apabila disahin nanti. Banyak yang masih kacau," kata Bivitri dalam diskusi bersama KedaiKopi 'Ngopi dari Seberang Istana' di Juanda, Minggu (4/12/2022).

Adapun hal yang dimaksud merugikan atau mengkhawatirkan dari beberapa pasal di RKUHP yakni ada ketentuan yang dengan mudah mempidanakan rakyat.

Salah satunya yakni bentuk kritik masyarakat terhadap lembaga negara, kepala negara dan simbol negara, termasuk soal ideologi rakyat yang bertentangan dengan Pancasila. 

"Satu aja yan mengerikan sekali, kalau kita membahas soal ideologi yang bertentangan dengan pancasila. Itu luas banget, bukan cuma marxisme, leninisme, kok bisa ya itu dikriminalkan. Tapi bahkan apapun yang dianggap bertentangan dengan Pancasila nanti bisa dipidana," kata dia.

Oleh karenanya, Bivitri menilai kalau disahkannya RKUHP yang di dalamnya masih terkandung pasal karet itu merupakan bentuk kehancuran demokrasi.

Sebab, dengan undang-undang itu, kritik dan kontrol dari rakyat untuk pemerintah dan kepala negara akan dibatasi bahkan rentan dipidana.

Baca juga: Tolak RKUHP, Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jelaskan Enam Pasal Bermasalah

"Jadi kalau kita bicara hukum, Joko Widodo dulu didukung betul oleh banyak pihak dan nothing to lose, sekarang ini tapi ternyata nothing to losenya juga ga terjadi. Jadi yang terjadi adalah kerusakan negara hukum dan demokrasi," tukas Bivitri.

Sebelumnya, DPR RI memastikan bakal mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang sebelum menjalani masa reses pada pertengahan Desember mendatang.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menanggapi disetujuinya RUU KUHP pada pembicaraan Tingkat I di Komisi III.

Dasco menyebut, sebelum disahkan di rapat paripurna, akan dibahas dulu di rapat pimpinan dan Badan Musyawarah (Bamus).

"Menurut hasil komunikasi dengan ibu Ketua DPR dalam waktu dekat kita akan rapimkan dan insyaallah sebelum kami memasuki masa reses di masa sidang ini RUU KUHP akan disahkan di paripurna DPR," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/11/2022).

Lebih lanjut, Dasco mengonfirmasi bahwa Komisi III DPR telah bersurat kepada pimpinan DPR agar produk hukum itu segera dibahas rapim.

"Surat dari Komisi III terkonfirmasi hari ini sudah masuk ke sekretariat jenderal (Setjen) DPR RI," ungkap Dasco.

Baca juga: Aksi Kamisan ke-755 di Taman Pandang Istana Suarakan Tolak RKUHP Disahkan

Di sisi lain, terkait masih adanya pasal yang dianggap kontroversi, Dasco meminta pemerintah agar melakukan sosialisasi ke masyarakat mengenai isu-isu krusial di RKUHP

Hal itu dilakukan agar rencana pengesahan RKUHP tak menjadi polemik.

"Mungkin kita minta DPR dan pemerintah untuk sosialisasikan kepada masyarakat mengenai hal-hal krusial supaya masyarakat mengerti. Karena ada beberapa pasal sebenernya sudah kita harmonisasikan, harusnya nggak jadi polemik," pungkasnya.

Mendagri sebut Sejumlah Masalah di RKUHP Sudah Disepakati

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan bahwa sejumlah masalah yang selama ini diperdebatkan dalam pembahasan RKUHP telah disepakati.

Hal itu disampaikan Tito usai mengikuti rapat di Kantor Presiden, Jakarta, pada Senin, (28/11/2022).

“Ada materi-materi yang diperdebatkan baik di kalangan masyarakat maupun antarpartai juga, tapi sejumlah masalah sudah disepakati dan juga sudah dikoordinasikan untuk mencari temu keseimbangan antara kepentingan individual, kepentingan masyarakat, dan juga kepentingan negara,” ujar Mendagri.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej menjelaskan bahwa DPR memberikan sejumlah masukan terkait RKUHP yang tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).

Baca juga: JSKK Minta Jokowi Tunda Pengesahan RKUHP Karena Masih Banyak Pasal Bermasalah

Menurut Eddy, beberapa poin dalam DIM telah melalui proses diskusi antara pemerintah dan DPR, serta telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama untuk dimasukkan dalam RKUHP.

“Teman-teman ICJR yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil itu aktif sekali melakukan diskusi dengan kami tim pemerintah, maupun dengan fraksi-fraksi di DPR, sehingga ada beberapa item yang kemudian kita masukkan dalam RKUHP dan kemudian itu telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama,” ujar Wamenkumham.

Sejumlah poin yang telah dibahas dan mengalami perubahan yaitu mulai dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, pidana mati, hingga pencemaran nama baik.

Terkait pidana mati, Eddy mengatakan bahwa dalam RKUHP yang baru pidana mati dijatuhkan secara alternatif dengan masa percobaan.

“Artinya, hakim tidak bisa langsung menjatuhkan pidana mati, tetapi pidana mati itu dengan percobaan 10 tahun. Jika dalam jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati itu diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun,” lanjutnya.

Kemudian, pemerintah juga menambahkan pasal 240 RKUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah dengan sejumlah pembatasan. Penghinaan terhadap pemerintah dalam pasal tersebut terbatas pada lembaga kepresidenan, sedangkan penghinaan terhadap lembaga negara hanya terbatas pada lembaga legislatif yaitu DPR, MPR, dan DPD, serta lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

“Baik dalam penjelasan pasal yang berkaitan dengan penyerahan harkat dan martabat Presiden, maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, kami memberikan penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik,” kata Eddy.

Dalam RKUHP tersebut, pemerintah juga menghapus pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Eddy berharap dengan memasukkan ketentuan UU ITE dalam RKUHP disparitas putusan dapat diminimalisasi.

Baca juga: Organisasi Advokat Apresiasi Pemerintah dan DPR yang Serap Masukan untuk RKUHP

“Untuk tidak terjadi disparitas dan tidak ada gap maka ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang ITE itu kami masukkan dalam RKUHP, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian, dengan sendiri mencabut ketentuan-ketentuan pidana khususnya pasal 27 dan pasal 28 yang ada dalam undang-undang ITE,” imbuhnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan