Minggu, 21 September 2025

Polisi Tembak Polisi

Saksi: Bharada E Disebut Paham Perbuatan Pidana, Tapi Terpaksa Bunuh Brigadir J karena Diperintah

Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menyebut kalau, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E memahami pembunuhan Brigadir J.

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
Ahli Filsafat Moral Romo Franz Magnis-Suseno (kanan) saat dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh kuasa hukum terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022). 

Sayangnya, dalam pemberian perintah Romo Franz menilai minimnya budaya tanggung jawab bagi di pemberi perintah.

"Ada satu budaya di mana orang sepertinya tidak dididik dan tidak dilatih untuk bertanggung jawab, jadi lalu ya ikut saja diperintahkan," katanya.

Oleh sebab itu, disebutnya bahwa pihak penerima perintah cenderung memiliki tanggung jawab yang lebih kecil. Terlebih ketika perintah itu diberikan dalam waktu yang singkat.

"Itu terjadi dalam, tersedia beberapa detik untuk mengambil sikap dalam kasus ini. Jadi jelas menurut saya jelas tanggung jawab yang memberi perintah itu, jauh lebih besar."

Dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli yang meringankan pada hari ini, Romo Frans juga menjelaskan adanya dua unsur yang dapat meringankan Richard dari sisi filsafat etika.

Pertama, adanya relasi kuasa dalam peristiwa penembakan terhadap Brigadir J yang dilakukan berdasarkan perintah Ferdy Sambo,

Terutama, di dalam kepolisian terdapat budaya menaati atasan. Di mana pada peristiwa tersebut, Ferdy Sambo merupakan atasan Richard dengan pangkat dan kedudukan yang jauh lebih tinggi.

Baca juga: 11 Poin Penting Hasil Tes Psikologis Bharada E: Cenderung Patuh, Terbukti Jujur, Alami Hipomania

"Orang yang berkedudukan tinggi yang berhak memberi perintah, di dalam kepolisian tenu akan ditaati. Budaya laksanakan itu adalah usur yang paling kuat," katanya di dalam persidangan pada Senin (26/12/2022).

Kedua, adanya keterbatasan waktu pada saat peristiwa, sehingga Richard dianggap tak dapat mempertimbangkan dengan matang.

Keterbatasan waktu yang hanya dalam hitungan detik itu disebut Romo Frans dapat membuat bingung Richard, antara melaksanakan perintah atau tidak.

"Tidak ada waktu mempertimbangkan secara matang," ujarnya.

"Menurut saya, itu dua faktor yang secara etis sangat meringankan," tukas Romo Magnis.

Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.

Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan