Pelanggaran Ham Berat
Sekjen FOKO Purnawirawan TNI-Polri Ungkap Dampak Pengakuan 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Satu di antara dampaknya, kata dia, terdapat Purnawirawan Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat dilarang pergi ke Amerika Serikat (AS).
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi (FOKO) Purnawirawan TNI-Polri Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono mengungkap dampak dari pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas terjadinya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu.
Satu di antara dampaknya, kata dia, terdapat Purnawirawan Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat dilarang pergi ke Amerika Serikat (AS).
Hal tersebut disampaikannya usai kegiatan pernyataan sikap FOKO Purnawirawan TNI-Polri atas pengakuan Presiden terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di kawasan Senen Jakarta Pusat pada Kamis (26/10/2023).
Baca juga: Try Sutrisno dan FOKO Purnawirawan TNI-Polri Tolak Pengakuan 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
"Saya ingin ungkap ini. Ada seorang (Purnawirawan) Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat. Harusnya beliau berangkat ke Amerika. Padahal kasus itu sudah dihilangkan. Saya ingin sebutkan. Itu Pak Try Sutrisno," kata Bambang.
"Kasus itu sudah dihilangkan dari pelanggaran HAM berat itu. Dan tidak ada lagi. Karena memang sudah selesai kasusnya. Pertanyaannya, kenapa beliau tidak boleh ke Amerika?" sambung dia.
Menurut Bambang, pelaramgan tersebut terjadi baru-baru ini.
Baca juga: Anak Jenderal Ahmad Yani Marah soal Keppres dan Inpres tentang Pelanggaran HAM Berat
Pelarangan tersebut, kata Bambang, karena nama Try terkait dengan pelanggaran HAM berat tersebut.
"Karena terdaftar di dalam pelanggaran HAM itu," kata dia.
Bambang mengatakan penolakan dan tuntutan yang disampaikan pihaknya terhadap pengakuan Presiden Joko Widodo atas terjadinya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu berlaku selama pihaknya merasa tidak diperlakukan dengan adil.
Ia pin mengatakan tuntutan tersebut diajukan kepada siapapun pihak yang bertindak sebagai pemerintah.
"Ini tuntutan adalah forever. Sehingga makanya kita tidak bicara siapa, pemerintahan siapa. Tapi tuntutan ini adalah tuntutan forever buat kita. Selama kita masih dibeginikan kita akan terus menuntut dan akan melakukan sesuatu. Sebab kami merasakan ketidakadilan negara kepada kami," kata dia.
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-9 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno bersama Forum Komunikasi (FOKO) Purnawirawan TNI-Polri sebelumnuabmenolak pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas terjadinya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu.
Hal tersebut disampaikan Try dalam video yang ditayangkan saat pernyataan sikap FOKO Purnawirawan TNI-Polri di kawasan Senen Jakarta Pusat pada Kamis (26/10/2023).
"Menolak dan tidak dapat menerima pernyataan Presiden RI Joko Widodo selaku Kepala Negara yang menyatakan telah terjadi 12 Pelanggaran HAM yang berat masa lalu pada saat menerima laporan dan rekomendasi TPPHAM beras sebagai mandat Keppres Nomor 17/2022," kata Try.
Kedua, Try dan FOKO Purnawirawan TNI-Polri menuntut pemerintah dalam hal ini Komnas HAM untuk meneliti kembali kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu secara transparan dan memenuhi akuntabilitaa publik, sehingga para pihak yang dirugikan atas pelanggaran HAM yang berat dimaksud mendapatkan keadilan.
Baca juga: Anak DN Aidit: Negara Berutang Maaf pada Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat
Ketiga, Try dan FOKO juga menuntut pemerintah bertindak adil kepada masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM berat, bukan hanya kepada pihak korban mantan PKI dan GAM, sebab terekspose kepada masyarakat hanya pihak korban PKI dan GAM yang menjadi atensi pemerintah.
"Keempat, mewaspadai upaya kebangkitan PKI melalui pengungkapan kembali peristiwa 1965-1966," kata Try.
Ia juga menyatakan pemerintah melalui Presiden Republik Indonesia wajib tidak terpengaruh oleh siapapun dan konsisten menegakkan keadilan sebagaimana kehendak sila kelima dari Pancasila.
Hal tersebut, kata Try, sesuai dengan alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Rabu (11/1/2023).
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022," kata dia.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," sambung dia.
Negara sebelumnya belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.
Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat di antaranya:
1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Presiden menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.
Pelanggaran Ham Berat
Menko Yusril Tegaskan Kasus 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat |
---|
26 Tahun Reformasi, Aktivis Gelar Pertunjukan 2.000 Tengkorak & 1.000 Kuburan Korban Pelanggaran HAM |
---|
Try Sutrisno dan FOKO Purnawirawan TNI-Polri Tolak Pengakuan 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu |
---|
Korban Pelanggaran HAM Berat 1965-1966 di Ceko: Kalau Jokowi Sudah Tidak Ada, Apa Ini Bisa Langgeng? |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.