Dewan Perwakilan Rakyat
Testimoni Agung Rai: Tak Mudah Jadi Wakil Rakyat
Eksistensi seseorang di dunia politik antara lain ditandai dengan menjadi pejabat publik baik di eksekutif atau pun di legislatif.
Editor:
Hasanudin Aco
Menurut Agung, ada dua pemicu korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, tak jadi itu barang. Sebaliknya, ada kesempatan tapi tak ada niat, juga tak jadi itu barang.
"Niat adanya di dalam hati. Kesempatan ada di peraturan perundang-undangan. Kalau sudah ada niat, peraturan perundang-undangan bisa diakali untuk mendapatkan celah korupsi," tukasnya.
Niat yang adanya di dalam hati terkait dengan faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terkait dengan kebutuhan atau "need" dan keserakahan atau "greed". Sebab itu ada dua motif korupsi, yakni "need" atau yang disebut dengan "corruption by need" (korupsi karena kebutuhan), dan "greed" atau yang disebut dengan "corruption by greed" (korupsi karena keserakahan). Di Indonesia yang lebih banyak terjadi adalah "corruption by greed".
Adapun faktor eksternal adalah pengaruh pihak lain. Misalnya mahalnya ongkos politik atau "high cost politics" di Indonesia di era Reformasi ini.
Pramono Anung Wibowo, mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan dan mantan Wakil Ketua DPR RI serta mantan Menteri Sekretaris Kabinet pernah menulis buku tentang mahalnya biaya politik di Indonesia.
Lingkaran Setan
Agung Rai berpendapat, ada dua penyebab "high cost politics" di Indonesia, yakni pertama adalah biaya politik atau "political cost" seperti untuk biaya pendaftaran, biaya kampanye, biaya pasang atribut, dan biaya saksi pemilu di setiap tempat pemungutan suara (TPS).
"Biaya politik ini ada batasnya," ucap Agung Rai.
Kedua, adalah "money politics" atau politik uang seperti untuk biaya mahar partai dan oknum pengurus partai, dan biaya "serangan fajar" atau pembagian uang menjelang pemungutan suara pemilu. Money politics ini "unlimited" atau tak terbatas.
Ada fenomena menarik saat ini. Yakni, vulgarnya money politics. Ada sebagian masyarakat yang tak segan-segan lagi memicu money politics.
Bahkan di sebuah daerah ada sebagian masyarakat yang memasang spanduk bertuliskan, "Di sini menerima serangan fajar".
Ada fenomena menarik pula, kalau ada wakil rakyat datang ke daerah pemilihan atau konstituen tapi tidak membawah "oleh-oleh" maka tidak akan dianggap, dan di pemilu berikutnya terancam tidak akan dipilih lagi.
Sebab itu, ketika seorang calon anggota legislatif (caleg) terpilih di pemilu, begitu dilantik menjadi wakil rakyat maka yang pertama kali berkecamuk dalam benak mereka adalah bagaimana caranya supaya bisa cepat balik modal. Kalau sudah balik modal, bagaimana caranya mencari modal baru untuk pemilu berikutnya.
Akhirnya terjadi lingkaran setan. Wakil rakyat korupsi untuk "money politics" atau diberikan kepada rakyat, padahal yang dikorupsi seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah uang rakyat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.