Kamis, 2 Oktober 2025

Revisi UU TNI

Ketua MPR Sebut Revisi UU TNI Harus Rigid Biar Sipil Tidak Merasa Terganggu

Ketua MPR menegaskan revisi UU TNI harus rigid untuk perlindungan sipil.

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Hasanudin Aco
KOMPAS.com/Rahel
REVISI UU TNI - Ketua MPR RI H. Ahmad Muzani, S.Sos berbicara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada 25 September 2024. Hari ini, Muzani bicara soal revisi UU TNI. 

TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ahmad Muzani meminta agar revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI harus rigid.

Hal itu bertujuan agar masyarakat sipil tidak terganggu.

"Ya harus rigid, harus rigid di UU TNI supaya sipil tidak merasa terganggu dan seterusnya harus rigid," kata Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).

Muzani meyakini revisi UU TNI tidak akan menghidupkan dwifungsi ABRI seperti yang dikhawatirkan oleh koalisi masyarakat sipil dan publik.

Muzani pun menganggap banyaknya penolakan dari masyarakat sebagai sebuah masukan.

Dia menyatakan bahwa penolakan terhadap produk undang-undang merupakan hal biasa di negara demokrasi.

"Ya, itu harus dianggap sebagai sebuah masukan ataupun kritik terhadap keadaan ini. Saya kira itu dalam negara demokrasi, itu sesuatu yang biasa," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI.

YLBHI dengan tegas menolak revisi UU TNI yang akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru, kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangannya Minggu, 16/3/2025.

YLBHI menilai revisi ini bertentangan dengan agenda reformasi yang menegaskan TNI harus tetap profesional sebagai alat pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan politik, ekonomi, dan hukum.

Dalam draf revisi terdapat sejumlah pasal yang dianggap bermasalah karena berpotensi mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil.

Setidaknya ada empat poin utama yang menjadi perhatian YLBHI.

1. Memperpanjang Masa Pensiun, Menambah Penumpukan Perwira Non-Job, dan Penempatan Ilegal Perwira Aktif di Jabatan Sipil.

Draf revisi Pasal 71 mengusulkan perpanjangan usia pensiun perwira TNI hingga 62 tahun.

Ini berisiko menambah jumlah perwira non-job yang dalam praktiknya sering kali dimobilisasi ke lembaga negara dan BUMN.

Akibatnya, profesionalitas dan efektivitas lembaga-lembaga tersebut terganggu.

Isnur menjelaskan, Ombudsman mencatat pada tahun 2020 terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan, di antaranya 27 anggota TNI aktif dan 13 anggota Polri aktif.

Tren ini berlanjut dengan penunjukan Mayjen Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog serta perwira aktif lainnya di PT PINDAD, PTDI, dan PT PAL yang bertentangan dengan UU TNI No 34 Tahun 2004.

2. Perluasan Jabatan Sipil bagi Perwira TNI Aktif Mengancam Supremasi Sipil, Profesionalisme, dan Independensi TNI.

Draf Pasal 47 memperbolehkan perwira aktif menduduki jabatan di setidaknya 13 kementerian dan lembaga negara, termasuk Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.

Padahal sebelumnya, aturan hanya memperbolehkan perwira aktif mengisi jabatan sipil di 10 lembaga yang relevan atau telah pensiun atau mengundurkan diri.

Meluasnya peran TNI di luar tugas pertahanan dinilai berisiko menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan melemahkan supremasi sipil.

Hal ini sangat berisiko mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer TNI terhadap kewenangan tersebut.

Jika terlibat tindak pidana umum, pelanggaran HAM, termasuk korupsi yang dilakukan anggota TNI, akan diserahkan yurisdiksi ke pengadilan militer, padahal semestinya harus diadili melalui pengadilan umum, ujar Isnur.

3. Membuka Ruang Campur Tangan Militer dalam Politik dan Keamanan Negara.

Revisi UU memberi wewenang bagi TNI untuk mengisi posisi strategis di Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara.

Ini membuka peluang intervensi militer dalam politik domestik dengan alasan menjaga stabilitas keamanan.

Langkah ini bertentangan dengan TAP MPR No VII Tahun 2000 yang mengamanatkan TNI agar bersikap netral dalam politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Sebagai alat negara, TNI seharusnya mendukung demokrasi, menjunjung tinggi hukum, dan menghormati hak asasi manusia, bukan mengambil peran dalam pemerintahan sipil.

4. Menganulir Peran DPR dalam Pengambilan Keputusan Operasi Militer Selain Perang.

Draf revisi Pasal 7 mengatur operasi militer selain perang, tetapi melemahkan mekanisme pengawasan oleh DPR.

Dalam aturan sebelumnya, operasi ini memerlukan persetujuan DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat.

Namun, draf baru mengizinkan pelaksanaan operasi cukup dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.

Pasal 7 ayat 4 menyebut bahwa pelaksanaan operasi militer selain perang hanya membutuhkan regulasi dari eksekutif, kecuali untuk ayat tertentu.

Ini memberikan kekuasaan besar kepada presiden tanpa mekanisme check and balance, bertentangan dengan TAP MPR No VII Tahun 2000 yang menegaskan bahwa kebijakan politik negara harus menjadi dasar bagi tugas TNI.

Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved