Sabtu, 13 September 2025

RUU KUHAP

Pasal Krusial yang Dibahas dalam RUU KUHAP oleh Komisi III: Penghinaan Presiden hingga soal Advokat

Berikut beberapa pasal krusial yang dibahas dalam RUU KUHAP oleh Komisi III DPR dalam rapat pada Senin kemarin. Salah satunya soal penghinaan presiden

Tribunnews.com/ Chaerul Umam
REVISI KUHAP - Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Juniver Girsang, mengusulkan larangan publikasi atau liputan langsung terhadap proses persidangan di ruang sidang pengadilan.  Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/3/2025). Berikut beberapa pasal krusial yang dibahas dalam RUU KUHAP oleh Komisi III DPR dalam rapat pada Senin kemarin. Salah satunya soal tindak pidana penghinaan presiden yang bisa diselesaikan melalui restorative justice. 

TRIBUNNEWS.COM - Pembahasan RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digelar oleh Komisi III DPR pada Senin (24/3/2025).

Beberapa pasal krusial pun dibahas dalam rapat tersebut seperti terkait pasal tentang penghinaan presiden, mekanisme sidang, hingga pengaturan advokat.

Selengkapnya berikut pasal-pasal krusial dalam draf tersebut berdasarkan rangkuman Tribunnews.com:

1.Penghinaan Presiden Dapat Diselesaikan melalui Restorative Justice

Ketentuan dalam draf RUU KUHAP terkait tindak pidana penghinaan presiden yang tertuang dalam Pasal 77 Bab IV tentang Mekanisme Keadilan Restoratif terjadi perubahan.

Di mana, tindak pidana penghinaan presiden maupun wakilnya bisa diselesaikan lewat keadilan restoratif atau restorative justice.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman.

Mulanya, Habiburokhman mengaku adanya kesalahan draf terkait dikecualikannya tindak pidana penghinaan presiden dan wakilnya yang tidak bisa diselesaikan via restorative justice.

"Ada kesalahan redaksi dari draf yang kami publikasikan, di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP sebagai pasal yang dikecualikan untuk dapat diselesaikan dengan RJ," ungkap dia dikutip dari Kompas.com.

Baca juga: KPK Tak Ikuti Aturan RUU KUHAP dalam Melakukan Penyadapan, Apa Alasannya?

Kini, kata Habirurokhman, semua fraksi sudah sepakat bahwa tindak pidana penghinaan presiden bisa diselesaikan lewat restorative justice.

"Kami sudah mengirimkan ke pemerintah draf yang di dalamnya sudah tidak lagi mencantumkan pasal penghinaan presiden sebagai pasal yang dikecualikan untuk diselesaikan dengan RJ," ujar Habiburokhman.

2.Live Sidang Harus Seizin Pengadilan

Pasal kedua yang turut dibahas dalam rapat Komisi III kemarin adalah terkait Pasal 253 ayat (3) yang mengatur setiap orang berada dalam persidangan dilarang menyiarkan sidang secara langsung tanpa izin pengadilan.

"Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan," bunyi pasal tersebut.

Lalu, pada Pasal 253 ayat (4) mengatur bahwa siaran langsung atau live sidang digelar tanpa izin, maka perekam bisa diproses pidana.

"Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu undang-undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang tersebut," bunyi pasal tersebut.

Sementara, pada rapat kemarin, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Juniver Girsang meminta penegasan makna dari larangan publikasi proses persidangan.

“Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang untuk mempublikasikan atau melakukan liputan langsung proses persidangan tanpa izin pengadilan,” kata Juniver di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.

Juniver menjelaskan pasal tersebut tidak berarti melarang advokat memberikan keterangan setelah sidang selesai. 

Namun, ia menekankan pentingnya larangan ini selama proses persidangan berlangsung, terutama dalam konteks liputan langsung. 

"Ini harus clear, jadi bukan berarti advokatnya setelah dari sidang tidak boleh memberikan keterangan di luar," ucapnya.

"Ini bisa kita baca Ayat 3 ini kan ‘Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan,'" imbuh Juniver.

Juniver mengatakan alasan di balik pelarangan ini adalah untuk menjaga integritas dan keadilan dalam proses persidangan, terutama dalam perkara pidana.

"Kenapa ini harus kita setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau di liputannya langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek. Itu kita setuju itu,” ucap Juniver.

Kendati demikian, Juniver juga mencatat bahwa dalam kondisi tertentu, hakim dapat memberikan izin untuk liputan langsung. 

"Bisa saja diizinkan oleh hakim, tentu ada pertimbangannya," katanya.

3.Advokat Tak Bisa Dituntut saat Bela Klien

Selanjutnya, Pasal 140 ayat (2) draf KUHAP turut dibahas yang berisit terkait advokat tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata saat menjalankan tugas membela klien.

Adapun ketentuan tersebut telah disetujui oleh Komisi III usai adanya usulan dari Juniver Girsang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) kemarin.

"Advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan," bunyi pasal tersebut.

4.Tersangka Diperiksa Penyidik Tak Wajib Direkam CCTV

RDPU yang digelar kemarin turut membahas terkait Pasal 31 ayat 2 RUU KUHAP yang mengatur penggunaan kamera pengawas atau CCTV saat penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.

Namun, dalam klausul dari draf tersebut, tidak ada ketentuan yang mewajibkan penggunaan CCTV saat pemeriksaan terhadap tersangka.

"Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung," bunyi pasal tersebut.

Namun, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengkritik terkait klausul tersebut.

Isnur mengatakan permasalahan lain juga terjadi ketika perekaman tidak diwajibkan ketika pemeriksaan tersangka yaitu tidak terwujudnya prinsip check and balance.

Dia menegaskan seharusnya rekaman CCTV dikelola oleh lembaga yang tidak terlibat perkara.

"Sebab rekaman tersebut merupakan bukti yang harus bisa diakses baik oleh penuntut umum maupun tersangka jika membutuhkan. Yang jelas, jangan sampai rekamannya dikuasai hanya oleh penyidik, dan tanpa pengawasan," katanya pada Minggu (23/3/2025), dikutip dari Kompas.com.

Isnur juga menyoroti masih adanya masalah penyiksaan dan kekerasan harus dicegah secara sistemik melalui checks and balances sejak awal penangkapan dan penahanan. 
Isnur menyebutkan, sistem tersebut harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan imparsial, yakni pengadilan. 

"Sedangkan, dalam RUU KUHAP masih belum ada mekanisme yang mengatur kewajiban untuk menghadirkan orang yang ditangkap agar secara otomatis dibawa ke hadapan hakim setelah misalnya 48 jam ditangkap, untuk ditinjau proses penangkapan yang telah dilakukan dan kemudian ditentukan perlu tidaknya penahanan," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Fahmi Ramadhan)(Kompas.com/Rahel Narda Chaterine/Nicholas Ryan Aditya)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan