Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Eks Anggota KPU Wahyu Setiawan Klaim Tidak Pernah Diberi Tahu Soal Sumber Uang Suap PAW Harun Masiku
Wahyu Setiawan mengklaim tidak tahu asal usul uang suap yang diterimanya dari Agustiani Tio Fridelina untuk memuluskan Harun Masiku jadi anggota DPR.
Penulis:
Fahmi Ramadhan
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengklaim tidak tahu asal usul uang suap yang diterimanya dari Agustiani Tio Fridelina untuk memuluskan pergantian antar waktu (PAW) calon anggota DPR RI, Harun Masiku.
Wahyu Setiawan juga berdalih bahwa tidak pernah diberitahu mengenai sumber uang suap tersebut termasuk dari Agustiani Tio.
Pernyataan itu Wahyu sampaikan ketika ia dicecar oleh kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail saat bersaksi dalam sidang kasus suap dan perintangan penyidikan pergantian antar waktu (PAW) calon anggota DPR RI, Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (17/4/2024).
Awalnya Maqdir bertanya kepada Wahyu soal sat dirinya diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .
"Saat saudara diperiksa sebagai tersangka apakah ada pertanyaan spesifik dari penyidik mengenai apa yang dilakukan terdakwa Hasto Kristiyanto?," tanya Maqdir.
Baca juga: Wahyu Setiawan Ungkap Momen Hasto Sambangi Ruang Kerjanya di KPU, Ajukan Penggantian Calon Terpilih
"Tidak ada," jawab Wahyu.
Setelah itu Maqdir pun mengorek pengetahuan Wahyu mengenai hasil pertemuannya dengan Agustiani Tio yang juga mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) itu.
Maqdir mendalami keterangan Wahyu terkait sumber uang suap yang diberikan Tio.
Baca juga: Sosok Wahyu Gunawan di Kasus Suap Vonis Lepas 3 Korporasi CPO, Orang Kepercayaan Ketua PN Jaksel
"Apakah ada pembicaraan antara saudara dengan saudara Tio bahwa sebagian uang yang akan saudara dapatkan berasal dari Hasto Kristiyanto?" tanya Maqdir.
Menyikapi pertanyaan itu, Wahyu pun mengatakan, Agustiani Tio tidak pernah mengatakan asal usul uang yang diberikan tersebut termasuk apakah uang itu dari Hasto atau bukan.
Saat itu Wahyu juga mengklaim bahwa saat Tio menemui dirinya semata-mata menjalankan tugas dari partai.
"Seingat saya Bu Tio melaksanakan itu terkait dengan tugas kepartaian tetapi terkait sumber uang dari mana Bu Tio tidak pernah menyampaikan ke saya," katanya.
"Apakah Tio juga pernah menyampaikan ke saksi, sumber uang itu dari mana?," tanya Maqdir.
"Tidak, bahkan saya pernah bertanya kepada Bu Tio, Bu Tio pun tidak tahu," kata Wahyu.
Seperti diketahui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.
Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (14/3/2025).
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaannya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dolar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," ucap Jaksa.
Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.
Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.
Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.
Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).
Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.
"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," ujar Jaksa.
Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.
Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.
Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.
"Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," sebutnya.
Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.
Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.
Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.
Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.