Kasus Suap Ekspor CPO
Apa Itu 'Obstruction of Justice' yang Diduga Dilakukan Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar?
Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar (TB) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice.
Penulis:
Wahyu Gilang Putranto
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar (TB) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan atau dikenal dengan istilah obstruction of justice.
Selain Tian Bahtiar, dua orang advokat yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaidi Saibih (JS) juga ditetapkan sebagai tersangka obstruction of justice.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan, penetapan tersangka obstruction of justice terhadap tiga orang itu setelah pihaknya melakukan pemeriksaan dan ditemukan adanya bukti yang cukup.
“Penyidik pada Jampidsus Kejaksaan Agung mendapat alat bukti yang cukup untuk menetapkan tiga orang tersangka,” ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.
Lantas apa yang dimaksud dengan obstruction of justice?
Dikutip dari Cornell Law School, obstruction of justice adalah segala tindakan mengancam (lewat kekuasaan, komunikasi) memengaruhi, menghalangi, menghambat sebuah proses hukum administratif.
Secara sederhana obstruction of justice adalah segala bentuk intervensi atau menghalangi sebuah proses hukum.
Kategori obstruction of justice
Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menjelaskan ada tiga unsur perbuatan yang masuk kategori obstruction of justice, yaitu:
(1) Adanya tindakan yang menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings);
(2) Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya yang salah atau fiktif/palsu (knowledge of pending proceedings);
(3) Pelaku bertujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Baca juga: Kejagung Bongkar Alasan Pimpinan JakTV Ditetapkan Tersangka Perintangan karena Pemufakatan Jahat
Obstruction of justice dalam Undang-undang
Dilansir Kompas TV, obstruction of justice juga termuat dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), serta Pasal 221 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 21 UU Tipikor:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Pasal 221 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
(2) Barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Baca juga: Kejagung Sebut Ada Permufakatan Jahat JakTV Buat Rekayasa Sosial: Giring Opini Publik
Apa yang Diduga Dilakukan Tian Bahtiar?
Diketahui, Tian Bahtiar (TB) ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan terkait tiga perkara korupsi besar yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), yakni tata niaga timah, impor gula, dan vonis lepas ekspor CPO, Selasa (22/4/2025).
Tian menjadi tersangka bersama dua pengacara, yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saebih (JS).
Penetapan tersangka ini berawal dari penyidikan kasus dugaan suap hakim yang memberi vonis lepas korupsi minyak goreng (CPO).
Marcella sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
"Terdapat permufakatan jahat yang dilakukan MS, JS, bersama-sama dengan TB selaku Direktur Pemberitaan JakTV untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Pertamina dan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula atas nama Tersangka Tom Lembong. Baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, Tian Bahtiar menerima uang senilai Rp 478,5 juta dari Marcella dan Junaedi.
Uang itu diperuntukkan agar Tian membuat dan menyebarkan berita yang menyudutkan Kejaksaan Agung.
Tian diminta menyebarkan opini menyudutkan Kejagung terkait tiga perkara besar, yaitu korupsi timah, importasi gula, dan ekspor CPO.
"Sementara yang saat ini prosesnya sedang berlangsung di pengadilan dengan biaya sebesar Rp 478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB yang dilakukan dengan cara sebagai berikut."
"Tersangka MS dan JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara a quo baik di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan," tutur Qohar.
Uang tersebut diterima Tian atas nama pribadi tanpa kerja sama dengan JakTV.
"Jadi Tian ini mendapat uang itu secara pribadi. Bukan atas nama sebagai direktur ya, JakTV ya."
"Karena tidak ada kontrak tertulis antara perusahaan JakTV dengan yang para pihak yang akan ditetapkan,” kata Qohar.
Salah satu contoh narasi negatif yang dibuat oleh Marcella dan Junaedi adalah soal kerugian keuangan negara dalam sejumlah perkara yang ditangani Kejagung.
Konten-konten negatif ini kemudian dipublikasikan oleh Tian ke beberapa platform media.
Baik itu media sosial dan media online yang terafiliasi dengan JakTV.
Selain itu, Abdul juga menyebut MS dan JS membiayai demonstrasi hingga seminar sebagai upaya menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara Kejagung yang sudah berjalan di persidangan.
"Jadi tujuan mereka jelas dengan membentuk opini negatif, seolah yang ditangani penyidik tidak benar, mengganggu konsentrasi penyidik, sehingga diharapkan, atau harapan mereka perkaranya dapat dibebaskan atau minimal mengganggu konsentrasi penyidikan," ujarnya.
Ketiganya kini disangkakan pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto 55 ayat 1 (1) KUHP.
"JS dilakukan penahanan 20 hari ke depan terhitung hari ini di Rutan Salemba. Begitu juga TB ditahan 20 hari terhitung ini di Rutan Salemba. Sedangkan untuk MS tidak ditahan karena yang bersangkutan sudah ditahan perkara lain," tandas Abdul Qohar.
Tanggapan Dewan Pers
Sementara itu, Ketua Dewan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu memastikan tak akan cawe-cawe dalam penanganan kasus dugaan perintangan penyidikan ini.
Meski demikian, Ninik menegaskan bahwa terkait penilaian terhadap karya jurnalistik dan etika profesi tetap menjadi domain Dewan Pers.
Hal itu disampaikan saat pertemuan Dewan Pers dan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa (22/4/2025).
"Dewan Pers tentu tidak ingin cawe-cawe dalam proses hukum,” ujar Ninik di Kejagung, Selasa, dikutip dari Kompas.
"Untuk menentukan apakah sebuah produk media merupakan karya jurnalistik atau bukan, itu adalah kewenangan etik Dewan Pers sesuai amanat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," lanjutnya.
Ninik menjelaskan bahwa Dewan Pers akan menilai dua aspek dalam perkara ini.
Yakni, soal standar kode etik jurnalistik dan apakah ada pelanggaran perilaku oleh jurnalis dalam prosesnya.
"Pers dituntut bekerja profesional, mengedepankan standar moral tinggi, tidak mencampurkan opini dengan fakta, dan tidak terlibat praktik tidak etis seperti suap atau permintaan imbalan," jelasnya.
Tanggapan LBH Pers
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong menyayangkan penetapan tersangka Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar tanpa melalui mekanisme Undang-undang (UU) Pers dan koordinasi dengan Dewan Pers.
Mustafa menyoroti alasan Kejagung menetapkan Tian Bahtiar sebagai tersangka imbas diduga membuat berita atau konten negatif terkait sejumlah perkara yang ditangani Kejagung.
Terkait hal itu, menurutnya, merupakan kesesatan apabila Kejagung menganggap berita sebagai pidana.
"Ini adalah logika sesat menganggap berita sebagai pidana dan khususnya dapat dikualifikasi sebagai bentuk perintangan penyidikan karena mengganggu konsentrasi penyidik," kata Mustafa, saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (22/4/2025).
Ia menjelaskan, selama proses peliputan dilakukan dengan standar jurnalistik, melakukan wawancara dengan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, atau ada data, peristiwa, atau literasi yang mendukung, maka laporan peliputan tersebut menjadi berita yang sah, dalam konteks etika jurnalistik.
Apalagi berita soal wawancara, diskusi, atau demo.
Ia menilai, tidak masuk akal jika semua berita yang bernada kritik dianggap sebagai obstruction of justice.
"Kalau ada berita yang mengkritik proses penyidikan atau ditujukan kepada instansi, dan tidak disertakan ruang untuk membela diri atau konfirmasi sebagai cover both side, maka itu persoalan etik, bukan pidana," jelasnya.
Adapun soal etika pers sudah seharusnya diadukan ke Dewan Pers.
"Bahkan Kejagung harus menghormati UU Pers dan menempu upaya Hak Jawab kepada Jak TV atau ke Dewan Pers," tuturnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Fahmi Ramadhan, Milani, Endra) (Kompas.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.