Rabu, 20 Agustus 2025

Idul Adha 2025

Sebentar Lagi Idul Adha, Apa Hukum Berkurban bagi yang Mampu, Wajib atau Sunah? Ini Penjelasannya

Bagaimana hukum berkurban bagi yang mampu? Apakah hukumnya menjadi atau sunah? Berikut penjelasannya.

|
ist/ho/dompet duafa
HUKUM KURBAN - Bagaimana hukum berkurban bagi yang mampu? Apakah hukumnya menjadi atau sunah? Berikut penjelasannya. 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

 

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Sebentar lagi Idul Adha atau hari raya haji yang identik dengan ibadah kurban

 

Bagaimana hukum berkurban bagi yang mampu? Apakah hukumnya menjadi atau sunah? Berikut penjelasannya.

Baca juga: Kapan Idul Adha 2025? Ini Penetapan Muhammadiyah dan Prediksi Pemerintah

Berdasarkan berbagai sumber, ada perbedaan pendapat antara para ulama mengenai hukum berkurban.

Kurban berasal dari kata qorroba-yuqorribu-qurbaanan, yang bermakna mendekatkan diri. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an:

 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 1-2).

 

Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan manusia untuk melaksanakan salat dan kurban sebagai bentuk mensyukuri nikmat Allah.

Baca juga: Resep Daging Tumis Kecap Jamur, Menu Simple Olahan Daging Kurban Idul Adha

Namun, untuk dapat menunaikan ibadah kurban tidak mudah dan murah.

 

Seorang muslim perlu mengeluarkan sejumlah dana untuk membeli hewan kurban.

 

Maka, tak heran ibadah ini dianjurkan bagi mereka yang mampu secara materi.

 

Lalu bagaimana seseorang dapat dikatakan mampu?

 

1.    Hukum Berkurban Bagi yang Mampu Menurut Mazhab Maliki

 

Ulama Mazhab Maliki mengatakan seseorang dikatakan mampu ketika memiliki harta kekayaan sebesar 30 dinar.

 

Bila dikonversikan ke rupiah, nominal satu dinar setara dengan dua juta rupiah.

 

Maka apabila seseorang memiliki total kekayaan 60 juta rupiah, ia dianjurkan menunaikan ibadah kurban.

 

2.    Hukum Berkurban Bagi yang Mampu Menurut Mazhab Syafii

Berbeda dengan Mazhab Maliki, Mazhab Syafii mengukur seseorang dapat dikatakan mampu apabila memiliki uang yang cukup untuk membeli hewan kurban.

 

Dengan catatan, orang tersebut mampu memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarga beserta orang yang ditanggungnya selama hari-hari penyembelihan, yakni pada tanggal 10 sampai 12 Zulhijah.

Apabila seseorang memiliki uang senilai hewan kurban, namun keluarganya sendiri belum dinafkahi, maka tidak dianjurkan baginya untuk berkurban.

 

Lebih baik memprioritaskan nafkah untuk keluarganya lebih dulu.

                                           

3.    Menurut Mazhab Hambali, Boleh Berutang untuk Kurban

Menurut Mazhab Hambali, seorang muslim dianjurkan berkurban apabila dapat mengusahakan membeli hewan ternak dengan menggunakan uang sendiri ataupun berhutang.

 

Mazhab Hambali membolehkan seorang muslim berutang terlebih dahulu untuk membeli hewan kurban.

 

4.    Menurut Mazhab Hanafi Hukum Berkurban Wajib bagi yang Mampu

Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum berkurban menjadi wajib bagi yang mampu.

 

Menurut Mazhab Hanafi, seseorang yang dikatakan mampu adalah mereka yang memiliki harta yang senilai dengan nisab zakat mal, yaitu 200 dirham.

 

Namun, Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, pada juz 3 halaman 597 mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis-hadisnya Hanafiyyah, atau diarahkan kepada pengukuhan atas kesunahan berkurban seperti masalah mandi Jumat dalam hadis Nabi; mandi Jumat wajib atas setiap orang baligh.

 

Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sebuah atsar bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir manusia meyakininya sebagai hal yang wajib, sementara hukum adalah tidak adanya kewajiban”.

 

Kurban di Kalangan Nabi dan Sahabat

 

Dalam keadaan berada atau sedang mengalami kekurangan, Rasulullah selalu berkurban setiap tahun.

 

Walau memiliki gaya hidup sederhana, Nabi Muhammad tidak absen berkurban.

 

Baginya, kurban adalah ibadah yang diupayakan setiap tahun, bukan ibadah yang dilakukan sekali seumur hidup.

 

Hadis Ibnu Abbas, beliau mendengar Nabi bersabda, “Tiga hal yang wajib baikku, sunnah bagi kalian, yaitu salat witir, kurban, dan salat Dhuha” (HR Ahmad dan al-Hakim).

 

Dalam riwayat Imam al-Tirmidzi disebutkan bahwa Nabi bersabda, “Aku diperintahkan berkurban, dan hal tersebut sunah bagi kalian” (HR al-Tirmidzi).

 

Rasulullah mewajibkan dirinya untuk berkurban, namun hukum berkurban bagi yang mampu tidak wajib, melainkan sunah.

 

Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang merupakan golongan mampu juga tidak selalu berkurban setiap tahun.

 

Hal ini menunjukkan bahwa kurban bagi umat muslim tidak wajib, namun sunah muakad.

 

Sebuah ibadah yang sangat dianjurkan.

 

Hukum Berkurban Adalah Sunah Muakad

 

Hukum berkurban bagi yang mampu adalah sunah muakad, atau ibadah yang sangat dianjurkan.

 

Bila melaksanakannya akan mendapatkan balasan yang tidak sedikit dari Allah Swt.

 

Pada hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dikatakan, “Pada setiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu kebaikan”.

 

Kurban bukanlah ibadah yang bersifat individual.

 

Meski hukum berkurban bagi yang mampu adalah sunah muakad, namun kurban memiliki sifat sosial yang sangat tinggi.

 

Allah memerintahkan daging kurban untuk dibagikan secara merata kepada seluruh umat muslim tanpa terkecuali. Orang kaya maupun miskin dapat menikmati daging kurban.

 

Mempererat silaturahmi dan merayakan hari raya Iduladha dengan sukacita.

 

Namun dalam distribusi daging kurban, ada pihak yang tidak memperoleh daging, utamanya kaum fakir dan miskin.

 

Sering kali pembagian daging kurban hanya berputar di satu wilayah yang sama, tidak merata hingga daerah pelosok.

Oleh sebab itu, jika Anda berkurban pilihlah lembag yang bisa menyebarkan hewan kurban dengan merata.

Dompet Dhuafa mengajak untuk menebarkan hewan kurban hingga ke pelosok negeri.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan