Sabtu, 8 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Berpayung Hitam di Kemenbud, Bedjo Ungkap Luka Tragedi 1965: Saya Nomor 7009

Bedjo memegang payung hitam di depan kantor Fadli Zon, menolak gelar pahlawan untuk Soeharto: “Saya korban, nomor 7009.”

|
Tribunnews.com/Alfarizy Ajie Fadillah
GELAR PAHLAWAN NASIONAL – Korban Tragedi 1965, Bedjo Untung, memegang payung hitam bertuliskan “Tragedi 1965–1966” saat berorasi di depan Gedung Kementerian Kebudayaan RI, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025). Aksinya menolak gelar pahlawan untuk Soeharto menjadi simbol luka sejarah yang belum diakui negara. 

Ringkasan Berita:
  • Bedjo Untung, korban Tragedi 1965, memegang payung hitam saat aksi di kantor Menteri Fadli Zon.
  • Massa sipil menolak gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, yang dinilai terlibat pelanggaran HAM.
  • Fadli Zon, Ketua Dewan GTK, menyebut Soeharto layak diberi gelar dan tidak terbukti melakukan genosida

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Di halaman Gedung Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025), Bedjo Untung berdiri tegak sambil memegang payung hitam bertuliskan “Tragedi 1965–1966” dan mikrofon di tangan lainnya.

Ia mengenakan kaus hitam bertuliskan YPKP 1965 — Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965–1966, organisasi yang ia pimpin untuk mengungkap kebenaran sejarah dan memperjuangkan keadilan bagi para penyintas.

Gedung Kemenbud bukan sekadar latar. Di sinilah Menteri Kebudayaan Fadli Zon berkantor — sosok yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), lembaga yang tengah menggodok nama-nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

Sekilas tentang Tragedi 1965

Tragedi 1965 bermula dari insiden Gerakan 30 September (G30S), ketika tujuh perwira tinggi TNI AD diculik dan dibunuh oleh kelompok yang mengklaim sebagai bagian dari revolusi internal. Peristiwa ini memicu krisis politik nasional dan menjadi titik balik sejarah Indonesia.

Partai Komunis Indonesia (PKI) segera dituduh sebagai dalang. Tuduhan ini diikuti penangkapan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI.

Laporan dari berbagai lembaga menyebutkan korban tewas mencapai 500.000 hingga lebih dari satu juta jiwa.

Komnas HAM telah menyelidiki sembilan kasus pelanggaran HAM berat, namun belum ada penyelesaian hukum.

Tragedi ini juga menandai transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, yang memimpin penumpasan dan kemudian mendirikan rezim Orde Baru.

Bedjo dan Payung Hitam: Simbol Luka Sejarah

Bedjo, 77 tahun, adalah salah satu korban langsung dari tragedi tersebut. Ia pernah diburu, ditangkap, dan dipenjara tanpa proses pengadilan.

Selama bertahun-tahun, ia menjalani kerja paksa sebagai tahanan politik di bawah rezim Orde Baru.

“Nomor punggung saya 7009,” katanya lantang.

“Artinya saya nomor 7009 sebagai tahanan politik hasil dari rezim Soeharto. Saya melihat sendiri orang-orang tidak bersalah ditangkap, disetrum, dibunuh. Saya juga korban.”

Ia berdiri bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk ribuan korban lain yang tak pernah mendapat keadilan.

“Kami tidak menolak sejarah. Kami menolak pemutihan,” ujarnya.

Baca juga: Komnas dan Kementerian Beda Pernyataan Soal Draf hingga Kewenangan Penyidikan dalam RUU HAM

Dalam orasinya, Bedjo menyebut Soeharto sebagai aktor utama pembantaian massal 1965.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved