Bahan Peledak Kedaluwarsa Maut di Garut
3 Reaksi Komisi I DPR RI Soal Peledakan Amunisi Kedaluwarsa di Garut: Sebut Tragedi Kemanusiaan
Para anggota Komisi I DPR RI menyampaikan duka cita, menyoroti prosedur peledakan, hingga akan memanggil Panglima TNI dan KSAD terkait insiden ini.
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, menyoroti Standar Operasional Prosedur (SOP), dalam insiden ledakan amunisi kedaluwarsa ini.
TB Hasanuddin mengingatkan pentingnya SOP dan pengamanan ketat dalam proses peledakan amunisi kedaluwarsa, agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Menurut TB Hasanuddin, lokasi yang digunakan sebenarnya sudah tepat karena berada cukup jauh dari permukiman warga.
Namun, ia menilai masih ada kekurangan dalam pengamanan area peledakan.

“Yang pertama itu, menurut hemat saya, sudah cukup jauh di pantai. Dari lokasi sudah tepat, tetapi seharusnya masyarakat harus disingkirkan. Iya, dijauhkan. Dan dilarang masuk ke wilayah peledakan atau di sekitar peledakan. Itu yang pertama,” kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (12/5/2025).
TB Hasanuddin menjelaskan, proses peledakan amunisi kedaluwarsa memang memiliki tingkat risiko tinggi, karena tidak semua amunisi meledak secara bersamaan saat ledakan pertama.
“Setelah peledakan pertama, amunisi itu belum tentu semua meledak. Karena mungkin amunisi itu sudah batas waktunya sudah habis. Tapi ketika ledakan pertama meledak, terjadi panas. Panas itulah yang kemudian meledakkan amunisi yang out of date,” ujarnya.
Legislator PDIP itu menilai, kesalahan bisa saja terjadi karena asumsi bahwa seluruh amunisi kedaluwarsa telah diledakkan.
Padahal, beberapa jenis amunisi yang telah kedaluwarsa membutuhkan waktu untuk bereaksi terhadap panas hingga akhirnya meledak.
“Ini dianggap sudah aman, dianggap semua amunisi itu sudah diledakkan, padahal sebagian masih ada yang, katakanlah awalnya membeku itu. Amunisi kedaluwarsa itu panas, panas, panas, begitu panas tertentu meledak,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa ledakan kedua biasanya tidak bisa diprediksi dengan mudah, karena proses pemicunya terjadi secara bertahap akibat paparan panas dari ledakan pertama.
“Ledakan kedua itu sulit dideteksi. Kalau menurut saya, salah perhitungan. Dikira semua sudah meledak, itu selesai pada ledakan pertama. Lalu turun, ngecek. Ternyata mungkin, karena semakin lama kedaluwarsa makin lama meledaknya, tidak otomatis itu. Butuh waktu,” ucapnya.
Sebagai langkah ke depan, ia menyarankan agar pengalaman ini menjadi bahan evaluasi serius dalam SOP peledakan amunisi kedaluwarsa.
Ia juga meminta agar jumlah amunisi yang diledakkan dalam satu kali peledakan dibatasi agar lebih mudah dikendalikan.
“Langkah ke depannya harus menjadi bahan acuan dari pengalaman seperti ini. Terus yang kedua, volume yang diledakkan itu sebaiknya jangan terlalu banyak. Kalau terlalu banyak, kan nanti ada yang meledak belakangan dong. Nah begitu. Ya, harus menjadikan sebuah pelajaran untuk prosedur ke depan agar tidak terjadi lagi,” pungkas TB Hasanuddin.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.