Prakiraan Cuaca
Mengapa Sudah Musim Kemarau, tapi Hujan Masih Deras? Ini Penjelasan BMKG
BMKG memberikan penjelasan alasan mengenai mengapa sudah memasuki musim kemarau tetapi hujan masih sangat deras.
Penulis:
Whiesa Daniswara
Editor:
Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Musim kemarau sudah memasuki wilayah Indonesia sejak April 2025.
Namun, hujan deras masih terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia meski musim kemarau sudah tiba.
Banyak masyarakat di Indonesia yang mengeluhkan cuaca yang sangat panas di siang hari, tetapi hujan deras terjadi pada malam hari.
Lantas, apa yang sebenarnya tengah terjadi?
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan peringatan bahwa musim kemarau 2025 diprediksi akan berlangsung lebih singkat dari biasanya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan musim kemarau sudah terjadi sejak April 2025 di Lampung bagian timur, pesisir utara Jawa bagian barat, pesisir Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Sementara itu, pada bulan Mei dan Juni 2025, kata Dwikorita, akan meluas di sebagian besar wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua.
Tentang sifat musim kemarau 2025, Dwikorita mengatakan sekitar 60 persen wilayah diprediksi mengalami kemarau dengan sifat normal, 26 persen wilayah mengalami kemarau lebih basah dari normal, dan 14 persen wilayah lainnya lebih kering dari biasanya.
"Durasi kemarau diprediksi lebih pendek dari biasanya di sebagian besar wilayah, meskipun terdapat 26% wilayah yang akan mengalami musim kemarau lebih panjang, terutama di sebagian Sumatera dan Kalimantan," ungkap Dwikorita, dikutip dari laman resmi BMKG.
Namun, memasuki minggu terakhir Mei 2025, dinamika cuaca di sebagian besar wilayah Indonesia masih menunjukkan pola peralihan musim dengan cuaca yang cepat berubah.
Cuaca cenderung cerah pada pagi hingga menjelang siang hari, tetapi berubah menjadi hujan pada sore hingga malam hari.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG Hari Ini Selasa 20 Mei 2025: Jawa Tengah dan Jawa Timur Potensi Hujan Lebat
Meskipun sebagian wilayah sudah memasuki musim kemarau, curah hujan yang terindikasi signifikan masih kerap terjadi, terutama pada sore hingga malam hari.
Di sisi lain, suhu udara yang menyengat pada siang hari terasa relatif lebih hangat akibat kelembaban udara yang lembab.
Kondisi atmosfer dapat menjadi sangat labil akibat interaksi suhu permukaan laut, tekanan udara, dan kelembaban yang tinggi.
"Sehingga memungkinkan adanya pembentukan awan konvektif seperti Cumulonimbus yang berpotensi menimbulkan cuaca ekstrem berupa hujan lebat, petir, angin kencang, hingga hujan es," kata BMKG.
BMKG menyebutkan, dalam sepekan terakhir saja, hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat telah memicu bencana hidrometeorologi di sejumlah wilayah, seperti Aceh, Kepulauan Riau, Riau, Sumatra Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.
Kejadian tersebut tidak hanya diakibatkan oleh mekanisme konvektivitas lokal yang sering terjadi pada masa peralihan, melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika atmosfer berskala lebih luas, yaitu aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang-gelombang atmosfer.
Saat ini MJO terpantau aktif berada di Fase 5 (Benua Maritim) dan diprediksi konsisten berada di wilayah Indonesia untuk sepekan ke depan.
Selain itu, gelombang Kelvin dan Rossby Ekuatorial juga cenderung persisten berpropagasi di sebagian wilayah Indonesia.
Fenomena-fenomena tersebut berpotensi memberikan pengaruh signifikan dalam memicu peningkatan pertumbuhan awan hujan, khususnya di bagian barat dan tengah Indonesia.
Meskipun lebih banyak wilayah terindikasi memasuki awal musim kemarau pada akhir bulan Mei akibat Monsun Australia yang diprakirakan menguat, hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat masih berpotensi terjadi akibat aktivitas MJO dan gelombang atmosfer tersebut.
Mengingat kondisi atmosfer yang masih relatif dinamis dan dapat berubah secara tiba-tiba pada periode ini, masyarakat diimbau untuk terus meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem yang dapat sewaktu-waktu terjadi.
Kapan cuaca ekstrem ini akan berakhir?
BMKG menjelaskan fenomena MJO diprakirakan konsisten berada di wilayah Indonesia (fase 3, 4, dan 5) dalam sepekan ke depan.
Selain itu, aktivitas gelombang Rossby Ekuatorial dan Kelvin juga diprakirakan akan memasuki wilayah Indonesia dalam beberapa hari ke depan.
Baca juga: Waspada Cuaca Ekstrem Potensi Hujan Lebat Melanda Seluruh Wilayah Indonesia Hari Ini, Cek Wilayahnya
"Hal ini menunjukkan potensi curah hujan yang cenderung meningkat, mengingat MJO dan gelombang-gelombang atmosfer tersebut membawa lebih banyak awan hujan dan berpotensi menyebabkan curah hujan di atas normal pada sebagian wilayah," tulis BMKG dalam siaran persnya.
Sirkulasi Siklonik diprediksi terbentuk di Laut Cina Selatan, Laut Maluku, dan perairan utara Maluku Utara, yang membentuk daerah perlambatan angin (konvergensi) di Wilayah Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Maluku, dan perairan utara Maluku Utara.
Sirkulasi Siklonik ini juga membentuk daerah pertemuan angin (konfluensi) yang diprediksi berada di Wilayah Laut Cina Selatan, Laut Sulu, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda, Laut Seram, Laut Halmahera, dan Samudra Pasifik utara Papua Barat.
Kombinasi antara MJO, gelombang Kelvin, gelombang Rossby Ekuator, dan gelombang Low Frequency pada wilayah dan periode yang sama terpantau aktif di Jawa Timur, Bali, Laut Jawa bagian timur, Laut Flores, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Laut Banda.
Hal ini berpotensi meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.
Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan sebagai salah satu indikator terjadinya cuaca ekstrem, meskipun dengan cakupan area hujan yang tidak sebesar yang biasa terjadi pada periode musim hujan.
Meskipun demikian, pergerakan massa udara kering dari benua Australia tetap mengindikasikan penurunan curah hujan di sebagian wilayah, seiring dengan masuknya musim kemarau.
Kondisi ini juga memicu peningkatan kecepatan angin di wilayah Indonesia bagian selatan, serta kenaikan tinggi gelombang di Samudra Hindia Barat Daya Lampung hingga Selatan NTT, Laut Timor, dan Laut Arafuru.
(Tribunnews.com/Whiesa)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.