Kamis, 2 Oktober 2025

Ketua Baleg DPR RI Ungkap RUU PPRT Ditargetkan Selesai Agustus Mendatang 

Bob Hasan menyatakan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) akan rampung pada Agustus.

Tribunnews/Fersianus Waku
RUU PPRT - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengundang Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk meminta masukan dalam penyusunan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), beberapa waktu lalu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menyatakan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) akan rampung pada Agustus 2025 mendatang.

Kata dia, terdekat DPR akan melakukan serangkaian rapat dengar pendapat (RDP) dengan berbagai pihak untuk penyusunan beleid tersebut.

"(RUU PPRT) Agustus selesai, paling lambat September. kita kejar RDP-RDP untuk bagaimana lebih memastikan itu kan sehingga penyusunan muatan materi itu sesuai dengan harapan," kata Bob Hasan kepada awak media di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/6/2025).

Lebih lanjut, legislator dari Fraksi Partai Gerindra itu juga memastikan kalau RUU PPRT ini sudah menjadi atensi dari pimpinan DPR RI.

Terlebih, Presiden RI Prabowo Subianto juga sudah menaruh fokus pada RUU tersebut.

"Ya sudah harus segera memang segera," tandas dia.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ditargetkan rampung dalam waktu 3 hingga 4 bulan. 

Target ini disebutnya sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.

“Saya pikir tidak ada kata terlambat. Mudah-mudahan kali ini sesuai apa yang telah disampaikan oleh Bapak Presiden Prabowo Subianto bahwa 3 bulan 4 bulan ini harus selesai,” kata Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (20/5/2025).

Ia menekankan, perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga penting untuk segera dirumuskan. Termasuk mengatur struktur hubungan kerja yang jelas antara pemberi kerja, penyalur, dan pekerja itu sendiri. 

Menurutnya, dalam perspektif hukum, hubungan ini masuk dalam ranah rachbad rechden atau hubungan hukum.

“Kalau dalam perspektif hukum itu namanya rachbad rechden. Jadi rachbad rechden itu adalah hubungan hukum, maka telah terjadi hubungan hukum antara terjadi tripartit kalau memang tidak langsung,” ujar Bob.

Salah satu ketentuan yang dinilai krusial ialah keharusan adanya perjanjian kerja secara tertulis. 

Hal ini dinilai penting agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam jangka panjang, terutama banyak praktik pemindahan kerja dalam hitungan bulanan tanpa kejelasan status.

“Ketentuan tertulis atau kerjanya tertulis itu kita bisa batasi dengan minimal,” katanya.

Bob juga menyoroti hubungan antara pemberi kerja dan penyalur, serta antara penyalur dan pekerja. 

Ia menyebut analisis terhadap model hubungan kerja tiga pihak perlu didalami agar rancangan UU bisa mengatur bentuk kontrak kerja secara adil.

“Apakah terjadi sebuah perjanjian tiga pihak ini secara langsung atau dua perjanjian baik itu pemberi kerja dengan pekerjaannya maupun dengan memberi kerja dengan si penyalurnya? Apakah penting juga antara penyalur dengan si pekerjanya? Ini perlu menjadi satu analisis kita bersama,” jelasnya.

Ia juga menanggapi kritik bahwa DPR kurang melibatkan publik dalam proses legislasi. 

Menurut Bob, Baleg selalu membuka ruang dialog dan segera kembali mengundang lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk memberikan masukan lebih lanjut.

“Kita ajak lagi dari Komnas HAM, Komnas Perempuan,” pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved