Kamis, 14 Agustus 2025

Mencari Model Pengelolaan Sampah Berbasis Perilaku: Tak Cukup Hanya dengan Teknologi

Persoalan sampah masih menjadi momok yang belum terselesaikan di berbagai kota besar Indonesia.

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
BAHAS SAMPAH - Pertemuan yang diinisiasi Kelompok relawan Kawan 98, Perbanusa dan Masyarakat Penjaga Alam Indonesia serta para praktisi dan pegiat penanganan sampah dari berbagai wilayah Jakarta, di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (21/6/2025). Dari pertemuan ini terungkap beragam kesulitan menghalangi keinginan menciptakan lingkungan bersih. 

Hasiolan EP/Tribunnews.com 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persoalan sampah masih menjadi momok yang belum terselesaikan di berbagai kota besar Indonesia.

Alih-alih mengalami penurunan, volume sampah terus meningkat, memunculkan keresahan warga akibat dampak sosial, lingkungan, dan kesehatan yang ditimbulkannya.

Situasi ini mencerminkan bahwa masalah sampah bukan semata soal teknis, melainkan cerminan perilaku masyarakat dan negara.

Hal itu mengemuka dalam diskusi publik yang digelar oleh Kelompok Relawan Kawan 98 bersama Perbanusa, Masyarakat Penjaga Alam Indonesia, dan para pegiat pengelolaan sampah dari berbagai kawasan Jakarta.

Dalam pertemuan ini, para peserta mengungkapkan beragam tantangan yang dihadapi dalam upaya menciptakan lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.

“Permasalahan sampah seharusnya didekati melalui perubahan cara pandang. Dari sana, akan tumbuh budaya baru yang lebih sehat dalam masyarakat,” ujar Profesor Rosari Saleh, anggota Dewan Pakar Perhimpunan Agenda 45, dalam diskusi yang berlangsung di Tebet, Jakarta Selatan, dikutip Minggu (22/6/2025).

Pernyataan tersebut merespons kegelisahan salah satu peserta yang menyoroti minimnya keterlibatan ilmuwan dalam penanganan sampah di Jakarta.

Prof. Rosari, yang juga merupakan ahli fisika material dan dosen di Fakultas MIPA Universitas Indonesia, menyebut bahwa teknologi untuk mengatasi sampah sejatinya sudah tersedia.

Namun, pemanfaatannya kerap tersendat karena minimnya informasi, pelatihan, dan pendampingan teknis di tingkat masyarakat.

“Bila peran ilmuwan diharapkan lebih besar, saya justru melihat tugas penting itu berada pada para antropolog. Mereka dapat menjelaskan bagaimana masyarakat memaknai dan bersikap terhadap sampah,” imbuhnya.

Perubahan perilaku menjadi kunci utama.

Para pengambil kebijakan juga perlu meninjau kembali pendekatan bantuan sosial yang selama ini diberikan.

Sering kali, bantuan alat pengolah sampah justru mubazir karena tidak diikuti edukasi memadai.

Di sisi lain, para penggerak Bank Sampah dan relawan lingkungan justru jarang mendapat insentif atau dukungan berkelanjutan.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan