Kasus Suap Impor Gula
Tom Lembong Laporkan 3 Hakim, Pakar Sebut Hakim Belum Tentu Salah: Bisa Saja dari Proses Awalnya
Pakar sebut perkara ini tidak bisa dilihat hanya dari satu titik saja, karena proses hukum Tom Lembong itu tidak tiba-tiba langsung masuk pengadilan
Penulis:
Rifqah
Editor:
Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum pidana, Hery Firmansyah, menanggapi langkah eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong yang melaporkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY), setelah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.
Adapun, abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana, serta menghentikan proses hukum yang sedang berjalan/baru akan berlangsung.
Dengan pemberian abolisi oleh presiden ini, maka penuntutan terhadap seseorang atau sekelompok orang dihentikan dan ditiadakan.
Tom Lembong melaporkan tiga majelis hakim yang memberikan vonis 4,5 tahun penjara ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam perkara importasi gula, mereka adalah Hakim Ketua, Dennie Arsan Fatrika dan dua Hakim Anggota yakni Purwanto S Abdullah serta Alfis Setyawan.
Tom Lembong yang kini resmi bebas berkat abolisi itu, ingin ada evaluasi terhadap proses peradilan yang dijalaninya.
Menurut Hery, dalam hal ini, tidak bisa dilihat hanya dari satu titik saja, karena proses hukum Tom Lembong itu tidak tiba-tiba langsung masuk pengadilan, melainkan sebelumnya masih ada proses penyelidikan, penyelidikan, hingga akhirnya baru masuk ke ranah pengadilan.
"Proses ini enggak mungkin langsung masuk ke pengadilan, lalu masuk dari proses penyidikan dan penuntutan," katanya, mengutip YouTube tvOneNews Rabu (6/8/2025).
"Maka kalau kita bicara integrated criminal justice system, sistem peran pidana yang sifatnya terpadu, nggak bisa kita hanya melihat dari satu titik tertentu saja, ini kesalahan dalam tanpa kutip bersama-sama begitu ya," imbuhnya.
Hery mengatakan, ketika ada persoalan yang seperti ini, hakim memang kerap disalahkan karena pemberi keputusan akhir atau vonis hukuman kepada para terdakwa tindak kejahatan.
Terlebih lagi, pemberian abolisi yang merupakan hak prerogatif presiden itu jarang terjadi di Indonesia.
Namun, menurut Hery, penting bagi semua pihak untuk mengoreksi juga kebijakan abolisi yang diterima Tom Lembong itu, apalagi sebelumnya disebut-sebut erat kaitannya dengan politik.
Baca juga: Periksa Hakim Kasus Tom Lembong, MA Bakal Minta Rekaman Proses Sidang
Jika demikian, menurut Hery, maka koreksi itu diperlukan agar bisa mengetahui siapa yang bermain di belakangnya, karena hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan politik.
"Abolisi dikeluarkan kemudian kita koreksi. Koreksi dari yang mana lininya, agar kita tahu yang bermain ini siapa. Hukum ya hukum. Hukum enggak boleh dicampurkan dan politik," ujarnya.
"Nah, kalau itu muncul siapa yang bertanggung jawab? Selama ini kan nggak pernah kita mendapatkan hal-hal semacam itu. Sehingga akhirnya ujungnya hakim yang dikira salah sebagai corong tadi kan," tambah Hery.
Menurut Hery, kesalahan itu belum tentu datang dari hakim, tetapi bisa juga dari proses penyelidikan awalnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.