Kamis, 14 Agustus 2025

Anggarkan Rp 300 Triliun di 2026 untuk Program Makan Bergizi Gratis, Worth It atau Boros Anggaran?

Pemerintah harus penghitungkan dampak program secara berkala. Serapan anggaran tinggi tanpa peningkatan indikator kesehatan anak adalah tanda bahaya.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Tribunnews/Jeprima
PROGRAM MBG - Sejumlah siswa menikmati makanan makan bergizi gratis (MBG) di SDN 03 Jati Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (7/5/2025). Program MBG telah menyasar 3,5 juta penerima manfaat hingga 6 Mei 2025, Selain itu total satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah mencapai 1.286 dapur dan membuka lapangan kerja sebanyak 48.452 orang. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi sorotan publik, dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya menekan stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). 

Namun, menurut pakar kesehatan global sekaligus peneliti Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, program ini harus dijalankan dengan kehati-hatian ekstra agar anggaran besar tidak berakhir sia-sia.

Dicky, yang memiliki pengalaman panjang di bidang kesehatan global, perencanaan pembangunan, hingga kerja sama internasional, menegaskan bahwa secara teori dan praktik, MBG memiliki manfaat besar bagi kesehatan masyarakat.

Baca juga: Ini Penyebab Seringnya Kejadian Keracunan Massal Akibat Konsumsi MBG

"Yang jelas ada manfaat utama dari makan bergizi gratis ini yang secara teori dan praktis tentu bisa berkontribusi pada penurunan stunting, anemia, kekurangan energi kronis, dan juga perbaikan gizi mikro sampai makro," kata Dicky pada Tribunnews, Kamis (14/8/2025). 

Selain dampak langsung pada kesehatan anak, Dicky menyoroti potensi multiplier effect ekonomi yang dapat muncul jika program ini terkelola baik. 

Pemberdayaan petani, pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), penyedia pangan lokal, hingga industri distribusi makanan dapat menjadi bagian integral dari rantai pasok MBG

Namun, ia mengingatkan bahwa potensi tersebut belum maksimal karena pelaksanaan di lapangan masih menyisakan tantangan.

Keracunan Massal Jadi Sinyal Bahaya

Salah satu catatan kritis yang disampaikan Dicky adalah masih terjadinya kasus keracunan makanan di program serupa, meski jumlahnya relatif kecil. 

Baginya, satu kasus keracunan massal saja sudah cukup untuk menandakan kegagalan sistem keamanan pangan.

"Satu kejadian keracunan massal sudah berarti kegagalan sistem keamanan pangan atau food safety breach dan mengindikasi lemahnya kontrol mutu," tegas Dicky.

Menurutnya, insiden seperti ini tidak boleh dianggap sepele, karena dalam perspektif kesehatan masyarakat, hal tersebut menunjukkan adanya kelemahan kontrol kualitas dan pengawasan keamanan pangan.

Efisiensi Anggaran Jadi Kunci

Dari sisi fiskal, Dicky mengingatkan bahwa besaran anggaran Rp300 triliun, sekitar 10 persen dari gabungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sektor kesehatan dan pendidikan, baru layak disebut worth it jika ada bukti nyata peningkatan kesehatan anak.

"Nilainya akan worthy hanya jika outcome kesehatan anak itu terukur meningkat signifikan. Jadi bukan sekadar terserapnya anggaran," ujarnya.

Dicky menegaskan, pemerintah harus melakukan evaluasi obyektif dan penghitungan dampak program secara berkala. 

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan