Anggarkan Rp 300 Triliun di 2026 untuk Program Makan Bergizi Gratis, Worth It atau Boros Anggaran?
Pemerintah harus penghitungkan dampak program secara berkala. Serapan anggaran tinggi tanpa peningkatan indikator kesehatan anak adalah tanda bahaya.
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi sorotan publik, dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya menekan stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Namun, menurut pakar kesehatan global sekaligus peneliti Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, program ini harus dijalankan dengan kehati-hatian ekstra agar anggaran besar tidak berakhir sia-sia.
Dicky, yang memiliki pengalaman panjang di bidang kesehatan global, perencanaan pembangunan, hingga kerja sama internasional, menegaskan bahwa secara teori dan praktik, MBG memiliki manfaat besar bagi kesehatan masyarakat.
Baca juga: Ini Penyebab Seringnya Kejadian Keracunan Massal Akibat Konsumsi MBG
"Yang jelas ada manfaat utama dari makan bergizi gratis ini yang secara teori dan praktis tentu bisa berkontribusi pada penurunan stunting, anemia, kekurangan energi kronis, dan juga perbaikan gizi mikro sampai makro," kata Dicky pada Tribunnews, Kamis (14/8/2025).
Selain dampak langsung pada kesehatan anak, Dicky menyoroti potensi multiplier effect ekonomi yang dapat muncul jika program ini terkelola baik.
Pemberdayaan petani, pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), penyedia pangan lokal, hingga industri distribusi makanan dapat menjadi bagian integral dari rantai pasok MBG.
Namun, ia mengingatkan bahwa potensi tersebut belum maksimal karena pelaksanaan di lapangan masih menyisakan tantangan.
Keracunan Massal Jadi Sinyal Bahaya
Salah satu catatan kritis yang disampaikan Dicky adalah masih terjadinya kasus keracunan makanan di program serupa, meski jumlahnya relatif kecil.
Baginya, satu kasus keracunan massal saja sudah cukup untuk menandakan kegagalan sistem keamanan pangan.
"Satu kejadian keracunan massal sudah berarti kegagalan sistem keamanan pangan atau food safety breach dan mengindikasi lemahnya kontrol mutu," tegas Dicky.
Menurutnya, insiden seperti ini tidak boleh dianggap sepele, karena dalam perspektif kesehatan masyarakat, hal tersebut menunjukkan adanya kelemahan kontrol kualitas dan pengawasan keamanan pangan.
Efisiensi Anggaran Jadi Kunci
Dari sisi fiskal, Dicky mengingatkan bahwa besaran anggaran Rp300 triliun, sekitar 10 persen dari gabungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sektor kesehatan dan pendidikan, baru layak disebut worth it jika ada bukti nyata peningkatan kesehatan anak.
"Nilainya akan worthy hanya jika outcome kesehatan anak itu terukur meningkat signifikan. Jadi bukan sekadar terserapnya anggaran," ujarnya.
Dicky menegaskan, pemerintah harus melakukan evaluasi obyektif dan penghitungan dampak program secara berkala.
Sri Mulyani Tegaskan Anggaran MBG di 2026 Naik Jadi Rp 300 Triliun |
![]() |
---|
Wamendagri Bima Arya Hadir di ASUF 2025, Paparkan Soal MBG dan Kopdeskel Merah Putih |
![]() |
---|
Komisi IX DPR: Semua Dapur MBG Harus Punya Fasilitas Standar Nasional |
![]() |
---|
5 Kejadian Keracunan Massal MBG, Terbaru Ada di Sragen Jateng Korbannya 251 Orang |
![]() |
---|
Ratusan Siswa Diduga Keracunan MBG di Sragen: Bupati Minta Stop Distribusi Makanan 2 Hari |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.