Pemerintah Serahkan DIM RUU Haji dan Umrah ke DPR Senin Malam
Pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah ke Komisi VIII DPR
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah kepada Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (18/8/2025) malam.
DIM merupakan dokumen berisi catatan berbagai masalahyang teridentifikasi saat menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU). Dokumen ini dibuat untuk membantu proses pembahasan RUU agar lebih terarah dan komprehensif, dengan mengidentifikasi potensi kelemahan, ketidakjelasan, atau ketidaksesuaian dalam substansi RUU.
Penyerahan DIM dilakukan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
Supratman mengatakan, DIM yang diserahkan merupakan bahan awal pembahasan bersama DPR.
DIM tersebut, menurut dia, nantinya akan dibahas lebih lanjut setelah DPR membentuk panitia kerja (panja).
Baca juga: Soal RUU Haji dan Umrah, Amphuri Desak Regulasi Adil, Proporsional, dan Berpihak pada Jemaah
"Kita serahin DIM. Nanti kita tunggu dari DPR-nya untuk bentuk Panjanya," kata Supratman.
Politikus Partai Gerindra ini menambahkan, jumlah DIM yang disusun pemerintah mencapai ratusan poin.
"Waduh, kalau saya tidak salah tadi itu 700 sekian, ya. Tetapi lebih banyak tetap. Lebih banyak tetapnya," ujar Supratman.
Baca juga: Komisi VIII DPR Targetkan RUU Haji Bisa Segera Rampung Agar Tak Rugikan Jemaah
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah merupakan usul inisiatif DPR.
Ada dua poin yang menjadi sorotan dalam RUU Haji dan Umrah.
Pertama, soal kuota haji khusus.
Asosiasi Haji dan Umrah meminta pengaturan soal haji khusus jangan ada pasal karet seperti yang tertuang dalam pasal 8 Ayat 4 yang mengatur kuota haji khusus paling tinggi 8 persen.
Frasa “paling tinggi” dalam penetapan kuota haji khusus bersifat elastis, tidak mengikat, dan rawan dimanipulasi.
Berdasarkan fakta di lapangan, realisasi kuota haji khusus selama ini berkisar 7–8 persen dan dikelola Penyelenggara Ibadah haji Khusus (PIHK) secara profesional, tanpa gangguan berarti terhadap penyelenggaraan haji nasional.
Kedua, yang menjadi sorotan soal umrah mandiri.
Umrah mandiri diatur dalam pasal 86 Ayat 1 RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menyebut “Umrah dapat dilakukan secara mandiri”
Pengaturan mengenai jemaah umrah mandiri dalam RUU ini tidak memiliki definisi, batasan, maupun mekanisme perlindungan yang jelas.
Hal ini berisiko membuka peluang percaloan, penyelenggaraan liar, serta merusak tatanan ekosistem penyelenggaraan umrah yang selama ini diatur melalui PPIU resmi.
Di saat UU Nomor 8 Tahun 2019 menempatkan jemaah sebagai subjek yang harus dilindungi.
Konsep “mandiri” justru dianggap mendorong mereka untuk menjadi pihak yang berjuang sendiri, tanpa perlindungan hukum, jaminan layanan, atau kejelasan tanggung jawab.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.