Soal RUU Haji dan Umrah, Amphuri Desak Regulasi Adil, Proporsional, dan Berpihak pada Jemaah
AMPHURI mengkritisi sejumlah poin penting dalam Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) mengkritisi sejumlah poin penting dalam Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
DPR telah menyepakati revisi UU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah menjadi usul inisiatif DPR.
"AMPHURI menggarisbawahi bahwa UU yang baik bukan sekadar mengatur, tetapi menjamin keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi semua pemangku kepentingan," tulis DPP AMPHURI dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Jumat (1/8/2025).
AMPHURI menyampaikan tiga isu utama yang dinilai sangat strategis dan perlu menjadi perhatian publik terkait RUU Tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Pertama, soal kuota haji khusus. AMPHURI menekankan dalam pengaturan soal haji khusus jangan ada pasal karet seperti yang tertuang dalam pasal 8 Ayat 4 yang mengatur kuota haji khusus paling tinggi 8 persen.
Baca juga: Kisruh Haji Furoda 2025: Arab Saudi Tak Terbitkan Visa, AMPHURI Imbau Jemaah Migrasi ke Haji Plus
AMPHURI menilai bahwa frasa “paling tinggi” dalam penetapan kuota haji khusus bersifat elastis, tidak mengikat, dan rawan dimanipulasi.
"Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang telah terbukti berjalan baik selama lebih dari satu dekade," tulis AMPHURI.
Berdasarkan fakta di lapangan, realisasi kuota haji khusus selama ini berkisar 7–8 persen dan dikelola Penyelenggara Ibadah haji Khusus (PIHK) secara profesional, tanpa gangguan berarti terhadap penyelenggaraan haji nasional.
Baca juga: AMPHURI Gelar Forum Dialog Kesehatan, Berikut Tips Cegah Pneumonia Bagi Jemaah Haji dan Umrah
Pengurangan kuota secara sepihak tanpa dasar objektif dan evaluatif merupakan bentuk pembatasan hak jamaah untuk memilih layanan ibadah yang sah dan berkualitas.
Atas catatan tersebut, AMPHURI merekomendasikan agar ketentuan dalam pasal 8 Ayat 4 diubah menjadi "Kuota haji khusus ditetapkan sekurang-kurangnya 8 persen dari kuota nasional".
"Dengan rumusan tersebut, negara tetap memiliki ruang pengawasan, namun memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jemaah dan penyelenggara," tulis keterangan AMPHURI.
Kedua, AMPHURI menyoroti soal umrah mandiri.
Umrah mandiri diatur dalam pasal 86 Ayat 1 RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menyebut “Umrah dapat dilakukan secara mandiri”
AMPHURI memandang bahwa pengaturan mengenai jemaah umrah mandiri dalam RUU ini tidak memiliki definisi, batasan, maupun mekanisme perlindungan yang jelas.
Hal ini berisiko membuka peluang percaloan, penyelenggaraan liar, serta merusak tatanan ekosistem penyelenggaraan umrah yang selama ini diatur melalui PPIU resmi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.