Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach Dinonaktifkan Nasdem, Apakah Bisa Bantu Redam Amarah Massa?
Apakah penonaktifan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dapat meredam aksi serta amarah massa demonstrasi? ini penjelasan pengamat.
Penulis:
garudea prabawati
Editor:
Sri Juliati
Sementara kediaman Nafa Indria Urbach, di kawasan elit Bintaro, Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, juga mengalami penjarahan, Minggu (31/8/2025) dini hari.
Mengutip TribunTangerang.com, kediaman Nafa yang berada di kompleks perumahan mewah tampak dijaga ketat oleh sejumlah petugas keamanan. Wartawan yang berusaha meliput langsung ke dalam lokasi tidak diperkenankan masuk pihak keamanan perumahan.
Di area gerbang perumahan, terlihat palang rusak, diduga akibat aksi perusakan. Sementara itu, di perumahan sebelahnya juga tampak penjagaan diperketat, bahkan terlihat anjing penjaga siaga di sekitar area.
Seorang warga sekitar bernama Syarif mengatakan ia melihat massa sudah keluar dari lokasi dengan membawa sejumlah barang.
Lantas apakah langkah Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dapat meredam kemarahan massa?
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia memberikan tanggapan terkait sikap Partai Nasdem yang menonaktifkan kadernya yakni Ahmad Sahroni serta Nafa Urbach.
Ia menilai penonaktifan kader Partai NasDem, Nafa Urbach dan Ahmad Sahroni, memang dapat membantu meredam aksi massa, namun hal tersebut tidak cukup untuk meredam protes publik secara menyeluruh.
"Jadi ada protes publik, ada aksi dari protes itu, dan aksi protes itu bisa dibantu 'diredam' dengan penonaktifan kader partai NasDem. Tapi tidak cukup hanya dengan cara itu saja," kata Ray, kepada Tribunnews.com, Minggu (31/8/2025).
Menurutnya, langkah meredam amarah masyarakat harus disertai perubahan perilaku politik. Bukan sekadar tindakan administratif.
Ia menegaskan bahwa protes publik yang merebak saat ini merupakan sinyal penting akan kebutuhan reformasi kultural politik di Indonesia.
Ray bahkan menyebut dinamika aksi massa 2025 memiliki kemiripan dengan peristiwa 1998, meski skalanya berbeda.
Jika 1998 melahirkan reformasi sistem dari otoritarianisme menuju demokrasi, maka peristiwa 2025, menurutnya, perlu diarahkan pada reformasi etika politik.
"Setelah hampir 30 tahun, kita merasakan sistem demokrasi ini tidak cukup menopang harapan publik jika tidak ditopang oleh etika politik. Aksi 2025 ini adalah momentum mereformasi kultur politik dari nepotisme menuju politik yang mempertimbangkan etika dan moral," jelas Ray.
Ia mencontohkan praktik nepotisme sebagai salah satu wajah politik tanpa etika.
“Bagaimana mungkin seseorang yang minim pengalaman bisa menjadi wakil presiden hanya karena ayahnya presiden. Memang aturan membolehkan, tapi secara etika itu tidak pantas,” tegasnya.
Ray menambahkan, reformasi etika politik diharapkan bisa mengubah perilaku elit agar tidak hanya menegakkan aturan semata, tetapi juga menjunjung moral. Ia juga mengkritik anggota DPR yang sering tampil garang di hadapan rakyat, tetapi justru lunak ketika berhadapan dengan pemerintah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.