Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Kompolnas Sikapi Desakan Reformasi Total Polri
Kompolnas mendorong Polri tetap harus berpegang teguh pada SOP, pada prinsip humanis.
Penulis:
Reynas Abdila
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reformasi total terhadap institusi Polri menjadi menjadi tuntutan publik setelah insiden tragis pada 28 Agustus 2025 lalu.
Dimana seorang pengemudi ojek daring (ojol) terlindas oleh kendaraan taktis aparat saat berlangsungnya aksi demonstrasi.
Komisioner Kompolnas Choirul Anam berpandangan tuntutan reformasi Polri tersebut dalam konteks ruang terbuka bahwa refleksi dari aksi kemarin dunia digital menjadi suatu perubahan mendasar.
Menurutnya ruang publik ini berbeda jauh dengan aturan yang ada untuk segera di reformasi tetap basisnya pendekatan yang humanis.
"Kata kuncinya itu karena tidak mungkin ruang terbuka dan sebagainya dengan pendekatan refleksi, dengan pendekatan yang kekerasan pola perubahan masyarakat ini lah, yang segera di respon dengan mempertajam berbagai aturan dengan pelaksanaan di lapamgan itu semakin humanis, profesional, terukur kalau tidak susah," ucap Anam kepada wartawan, Senin (8/9/2025).
Dia menuturkan reformasi bukan hanya ditubuh kepolisian tapi memperkuat masyarakat, menumbuh kembangkan masyarakat kesadaran ruang publik yang harus dijaga bersama-sama termasuk dihindari ruang kebebasan berekspresi dengan cara kekerasan.
"Ini tanggung jawab kita semua, di elite kekuasaan harus terbuka dalam berbagi masukan, kritikan, dan sebagainya.
Di ruang masyarakat, gunakan hak anda untuk mengeluarkan ekspresi berpendapat dengan cara damai, diruang aparat bertindak lah dengan humanis dan profesional dan semua pihak harus berbenah diri," imbuhnya.
Sebagai fungsi pengawasan eksternal, Kompolnas mendorong Polri tetap harus berpegang teguh pada SOP, pada prinsip humanis.
Satu di antaranya yang penting misalnya menahan diri, tidak bisa misalnya di beberapa pelaku yang diamankan terus disuruh telanjang dada.
"Itu tidak bisa itu tidak holeh, terus juga ketika proses berjalan, juga memaksimalkan pendampingan, informasi bagi keluarga dan ini juga yang harus diperbaiki sehingga anggota keluarganya diamankan itu juga jelas mendapatkan informasi dan sebagainya dan ini harus menjadi catatan," bebernya.
Selanjutnya, terhadap tersangka proses hukum pendampingan hukum dan aksesnya harus dibuka.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) mendesak Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera melakukan reformasi total terhadap institusi Polri dengan mendistribusikan sejumlah fungsinya ke kementerian terkait.
Seruan ini mengemuka setelah insiden tragis pada 28 Agustus 2025, di mana seorang pengemudi ojek daring (ojol) dilaporkan terlindas oleh kendaraan taktis aparat saat berlangsungnya demonstrasi.
Peristiwa ini menambah panjang daftar kekerasan aparat, termasuk Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 135 orang, serta berbagai kasus penembakan dan penyiksaan terhadap warga sipil.
"Brutalitas yang berulang telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap negara dan menormalisasi penggunaan kekerasan," demikian pernyataan koalisi dalam rilis persnya pada Jumat (29/8/2025).
"Ini menunjukkan adanya kegagalan struktural dan budaya di tubuh kepolisian yang terlampau akut," tambahnya.
Koalisi, yang terdiri dari 19 organisasi ternama seperti YLBHI, ICW, KontraS, dan ICJR menilai bahwa kewenangan Polri yang terlalu besar (superpower) telah membuatnya sulit dikontrol dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Tiga Tuntutan Restrukturisasi
Untuk membenahi masalah tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan tiga tuntutan reformasi struktural yang fundamental:
1. Distribusi Fungsi Pelayanan Sipil: Fungsi keamanan sipil seperti Sabhara dan pelayanan publik lainnya diusulkan untuk ditempatkan di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri.
Sementara itu, fungsi lalu lintas, termasuk administrasi STNK dan SIM, didorong untuk dialihkan ke bawah Kementerian Perhubungan.
Langkah ini diharapkan dapat mengurangi watak militeristik dalam penanganan tugas-tugas sipil.
2. Konsolidasi Fungsi Penyidikan: Seluruh fungsi penyidikan dalam peradilan pidana dituntut untuk dikonsolidasikan di bawah sebuah lembaga penegakan hukum yang independen.
Koalisi juga mendesak agar setiap upaya paksa oleh penyidik harus mendapatkan izin dari hakim (hakim komisaris) melalui revisi KUHAP untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi.
3. Evaluasi Korps Brimob: Mengingat keterlibatan Brimob dalam berbagai insiden kekerasan terhadap sipil, Koalisi menuntut evaluasi menyeluruh terhadap fungsi dan relevansi korps tersebut.
Menurut mereka, Brimob yang memiliki teknik, perlengkapan, dan taktik menyerupai instrumen perang tidak seharusnya dihadapkan langsung dengan warga sipil.
Koalisi juga secara tegas meminta Presiden Prabowo untuk tidak lagi mengeluarkan retorika semata, melainkan segera mengambil langkah konkret untuk merombak institusi Polri.
Selain perubahan struktural, mereka juga menuntut adanya laporan tahunan terbuka mengenai kinerja dan penggunaan anggaran Polri.
"Presiden harus segera lakukan perubahan struktural sekarang juga. Tegakkan supremasi sipil, polisi harus dirombak, namun militer harus tetap kembali ke barak," tutup pernyataan tersebut.
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Sindir Pernyataan Yusril soal Tersangka Demo Harus Gentle, Kuasa Hukum Delpedro: Bukan Main Tinju |
---|
Kematian Iko Mahasiswa Unnes Semarang Masih Janggal, Keluarga Tak Dilibatkan Olah TKP |
---|
Setara Institute Desak Presiden Prabowo Bentuk TGIPF Usut Kerusuhan Akhir Agustus 2025 |
---|
Pemerintah Pusat Diminta Prioritaskan Pembangunan Kembali Gedung DPRD NTB yang Hangus Dibakar |
---|
Dirikan Posko Usai Bertemu Prabowo, GP Ansor: Tidak Ada Ruang Bagi Provokator |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.