Kamis, 18 September 2025

Menelaah Konstruksi Norma Hukum dalam Upaya Perlindungan Korban Terhadap Kejahatan Siber Global

Menurutnya, perlindungan hukum atas terjadinya kejahatan siber global di Indonesia belum optimal terlaksana.

Penulis: Reza Deni
HO/IST
SIDANG PROMOSI DOKTOR - Sidang terbuka promosi doktor di bidang Ilmu Hukum, Sabtu, 13 September 2025, di Gedung D, Kampus A Universitas Borobudur, Jakarta Timur. Sidang terbuka promosi doktor Ilmu Hukum menjadi momen penting bagi Mayjen TNI Dr. Endro Satoto. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Lembaga Pengembangan Pertahanan Negara Universitas Pertahanan (Unhan) Mayjen TNI Dr. Endro Satoto memaparkan soal perlindungan hukum terhadap korban kejahatan siber global yang semakin marak dan kompleks di Indonesia.

Kejahatan siber atau cybercrime adalah bentuk kejahatan yang dilakukan melalui perangkat digital dan jaringan internet. Kejahatan ini bisa menargetkan sistem komputer, data pribadi, hingga infrastruktur digital suatu negara.

Baca juga: Jaga Obvit Nasional dari Serangan Siber, Sistem Keamanan Command Center Diluncurkan

Karena sifatnya yang lintas batas dan sulit dideteksi, kejahatan siber menjadi tantangan global yang serius.

Hal itu dia katakan dalam sidang terbuka promosi doktor bidang Ilmu Hukum Universitas Borobudur di Kampus A Universitas Borobudur, Jakarta Timur.

Baca juga: Polda Metro Jaya Tangkap Dua WN Malaysia Pelaku Kejahatan Siber Bermodus SMS Phishing dari Mobil

Endro dinyatakan lulus secara cumlaude. Endro merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum dari angkatan 25, yang berhasil meraih gelar Doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kontruksi Norma Hukum dalam Upaya Perlindungan Korban Terhadap Kejahatan Siber Global di Indonesia yang Berkemanfaatan”. 

"Pertama, perlu dianalisis mengapa kejahatan siber global dapat terjadi di Indonesia, mengingat kemajuan teknologi yang sangat pesat belum diimbangi dengan sistem hukum yang adaptif. Kedua, perlu dikaji bagaimana penegakan hukum atas tindak pidana siber yang bersifat lintas batas tersebut, mengingat adanya kelemahan dari sisi regulasi, koordinasi antar lembaga, dan keterbatasan sumber daya," ujar Endro di Jakarta, Sabtu (13/9/2025).

Yang ketiga, lanjut dia, penting untuk dirumuskan bagaimana seharusnya model perlindungan hukum yang ideal bagi korban kejahatan siber di Indonesia, agar mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum secara konkret. 

"Dari ketiga rumusan tersebut menjadi fokus utama untuk membedah kesenjangan antara harapan normatif hukum (das sollen) dengan realitas implementatif di lapangan (das sein) dalam konteks pertahanan keamanan digital nasional," kata Endro.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengkaji secara mendalam dan menemukan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan siber global di Indonesia, yang tidak hanya bersifat domestik namun juga lintas negara, serta dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital yang belum diimbangi dengan kesiapan hukum nasional. 

Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana penegakan hukum telah dilakukan terhadap kejahatan siber global tersebut, termasuk identifikasi hambatan dalam aspek regulasi, koordinasi kelembagaan, dan kapabilitas sumber daya.

Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis dan merumuskan model perlindungan hukum yang ideal, yang tidak hanya mampu menjawab tantangan kejahatan siber secara preventif dan represif, tetapi juga memastikan pemenuhan hak-hak korban melalui pendekatan hukum yang adaptif, integratif, dan berorientasi pada kemanfaatan.

Untuk itu, hasil dari penelitiannya ini yaitu terjadinya kejahatan siber global di Indonesia disebabkan karena teknologi dan informatika mengalami kemajuan yang sangat maju. Kemajuan teknologi dan informatika tersebut tidak mengenal yurisdiksi, batas ruang, tempat negara, bahkan benua dan bahkan kejahatan siber terjadi bersifat nasional, transnasional dan internasional. 

"Peraturan perundang-undangan yang ada dalam menangani tindak pidana siber masih menghadapi berbagai tantangan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Badan Siber Dan Sandi Negara menjadi dasar hukum untuk penindakan kejahatan siber, namun belum optimal penindakannya," jelasnya.

Baca juga: Riset dari Harvard: Kejahatan Siber seperti Penipuan dan Judi Online Bersarang di Kamboja

Hal ini disebabkan karena norma tersebut belum cukup jelas dan spesifik mengatur kewenangan lembaga terutama Badan Siber dan Sandi Negara dalam penindakan kejahatan siber berakibat terjadinya kekosongan hukum untuk melakukan penindakan. 

Kemudian, penegakan hukum terhadap atas terjadinya kejahatan siber global di Indonesia belum optimal. Hal ini dihadapkan pada sisi sumber daya, teknologi, maupun regulasi. 

Keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih dan berkompeten dibidang teknologi tinggi menjadi salah satu masalah utama, kurang kemampuan dan pemahaman mendalam tentang teknologi dalam kejahatan siber

Selain itu, ketidaksesuaian antara regulasi yang ada dengan perkembangan teknologi terkini menambah ketidakmampuan hukum dalam menangani kejahatan siber secara efektif. 

"Penegakan hukum menjadi lamban, kurang efisien, dan seringkali tidak dapat memberikan keadilan yang cepat bagi korban kejahatan siber. Hukum pidana, perdata dan administrasi seharusnya yang lebih ideal dan adaptif, yang dapat merespon dengan cepat terhadap perubahan teknologi atas terjadinya ancaman siber," kata dia.

"Begitu juga masih terjadinya ego sektoral pada setiap lembaga yang merasa memiliki kewenangan dan hal ini ditandai belum adanya lembaga yang full power untuk mengkoordinir kewanangan penindakan ancaman siber," paparnya.

Lalu, lanjut dia, perlindungan hukum atas terjadinya kejahatan siber global di Indonesia belum optimal terlaksana. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya tindakan preventif dan represif yang dilakukan oleh lembaga yang seharusnya memiliki kewenangan.

Badan Siber dan Sandi Negara sebagai lembaga yang seharusnya melakukan tindakan preventif dan represif namun dalam kedudukan hukumnya tidak memiliki legal standing untuk melakukan fungsi tersebut karena BSSN hanya sebagai lembaga negatif intelejen dalam bidang siber sehingga dengan kedudukan tersebut tidak dapat bertindak secara langsung apabila menemukan indikasi adanya ancaman kejahatan siber.

BSSN untuk melakukan tindakan preventif dan represif atas ancaman siber tersebut dibutuhkan adanya kewenangan berdasarkan undang-undang dan bukan peraturan presiden.

Dengan demikian, dia menilai perlu adanya perubahan peraturan presiden Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Badan Siber Dan Sandi Negara menjadi undang-undang. Dalam Undang-Undang maka keberadaan BSSN sebagai lembaga yang memiliki kewenangan secara mutlak untuk melakukan penindakan atas terjadinya serangan siber di Indonesia. 

"BSSN selama ini seharusnya sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan siber tidak dapat melakukan kewenangan tersebut disebabkan karena belum adanya mandat yang diberikan kepada lembaga tersebut," ujar Endro.

Baca juga: Kapolri Sebut Judi dan Penipuan Online jadi Peringkat Satu Kejahatan Siber di Indonesia

Selain itu, perlu adanya penetapan norma dalam undang-undang terkait dengan BSSN yang mengatur tentang hukuman pidana, perdata dan adminsitrasi atas terjadinya serangan siber dengan menekankan hukuman seberat-beratnya sehingga akan memberi efek jerah bagi pelaku sehingga korban akan mendapatkan perlindungan. 

"Hukuman perdata perlu diatur tentang hak-hak perdatanya bagi korban dengan ganti rugi atau sebutan lainnya, peraturan juga perlu mengatur dengan lebih detail mengenai hak-hak korban dan mekanisme pemulihan pascakejahatan siber, termasuk proses ganti rugi yang adil dan cepat, dari sisi administrasinya perlu adanya hukuman berupa administrasi kalau perseorangan melakukan serangan siber maka patut hukuman administrasinya dan bagi pelaku koorporasi maka seluruh izin dan perizinanya dicabut dan dinyatakan perusahaan tersebut tidak dapat dipergunakan lagi," tutur Endro.

Menurutnya, perlu adanya norma hukum yang mengatur tentang penguatan kewenangan untuk kerjasama internasional antar lembaga untuk melakukan penindakan atas terjadinya kejahatan siber global yang bersifat preventif dan represif. 

BSSN dengan kedudukan hukumnya diatur berdasarkan Perpres maka dengan penguatan kelembagaan tersebut maka ada keleluasaan BSSN untuk bergerak cepat dan tepat untuk melakukan penindakan. 

"Secara faktual tidak ada lembaga yang bertanggungjawab atas kejahatan siber dan sekalipun Badan Siber dan Sandi Negara ada tapi lembaga tersebut tidak ada kewenangan untuk melakukan penindakan," ujarnya.

Mayjen TNI Endro lulus di bawah bimbingan dari Prof. Dr. Faisal Santiago selaku Promotor, dan Dr. Sulhan selaku Ko-Promotor.

Baca juga: Kerugian Kejahatan Siber Secara Global Diperkirakan Mencapai 10,5 Triliun Dolar AS

Bertindak sebagai dewan penguji sidang doktor yakni Prof. Bambang Bernanthos yang merupakan Rektor Universitas Borobudur. Kemudian, Prof. Faisal Santiago selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Borobudur, Dr. Sulhan, selaku Ko-Promotor yang juga sebagai anggota penguji, Prof Ade Saptomo, Bambang Soesatyo, dan sebagai Penguji Luar Institusi Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan